Rabu, Oktober 31, 2007

Kotak Hitam, FEMINA, 2007

Kotak Hitam
Cerpen:
Sukma Wie


Riza.

Kau terlihat dalam bentuk paling sempurna. Mengenakan gaun coklat muda. Rambutmu kau urai lepas. Bibirmu bersapu lipstick warna natural. Berbicara dengan suara lembut.

Aku memperhatikan matamu. Jelaga yang mengisyaratkan cerita. Mengundang rasa keingintahuan. Indah parasmu hanya selimut tipis yang tidak mampu menyembunyikan kabut kelam di balik retinamu.

Kalau aku berada di dekatmu, dan cuma berdua denganmu –tidak di ruangan kelas yang ramai begini, aku akan bertanya padamu, “Maukah kau berbagi denganku?”

Matamu akan berkaca-kaca dan menjawab, “Aku ingin berbagi denganmu, tapi rasanya terlalu berat…”

“Aku akan membantumu.”

“Membantuku?”

“Ya, aku ingin meringankan bebanmu.”

“Tidak, ini terlalu berat.”

“Tak ada yang terlalu berat kalau bersamaku.”

Dan kau menatapku ragu. Aku tersenyum meyakinkan. Kau menghela napas berat. Lalu satu-satu kau urai jelaga di matamu dengan buliran cerita di bibirmu…

Tapi kau tidak sedang cerita.

Kau di sana sedang menguraikan aturan-aturan perkuliahan pascasarjana kepada kami, mahasiswa baru. Dan aku di sini hanya duduk memperhatikanmu. Tanpa sedikit pun kau memperhatikanku.

****

Ocha.

Tak seorang pun tahu kalau aku selalu memperhatikanmu. Aku tahu kau memperhatikanku. Tapi aku pura-pura tak tahu. Kau memperhatikanku dengan matamu yang tipis namun tajam. Aku tidak bisa membaca seluruh pikiranmu, tapi aku bisa meraba tanda tanya di matamu. Hmm, kau ingin tahu tentang aku? Apa yang ingin kau tahu?

Aku hanyalah sebuah pesawat rapuh yang jatuh di hutan rimba tak terlacak, dengan kotak hitam tersembunyi yang tak seorang pun mampu menemukannya. Tidak, takkan kubiarkan seorang pun menemukannya. Walau kutahu matamu menyiratkan tekad yang mengerikan.

Aku memperhatikanmu masih memperhatikanku. Hari itu kau mengenakan kemeja bergaya tim balap berwarna merah dengan logo-logo oil company dan otomotif yang menempel di dada dan lenganmu. Cukup keren kelihatannya. Seperti pembalap betulan. Apalagi dengan postur tubuhmu yang besar dan gelap. Kau begitu memesona.

Kalau aku cukup dekat denganmu, mungkin aku akan bermanja padamu. Bergayut di lengan kekarmu. Menempelkan pipi di bahumu. Alangkah nyamannya. Kau usap lembut rambutku dengan punggung jarimu sambil berkata, “Tidakkah kau ingin menceritakan kisahmu?”

“Kau ingin mendengarnya?”

Kau tersenyum mengangguk.

Aku menghela napas. “Ini terlalu berat untuk kukisahkan.”

“Kalau bisa meringankanmu, ceritalah.”

“Mungkin tidak kali ini.”

Kau menatap mataku, tepat di pusat hatiku. “Apakah kau tidak mempercayaiku?”

“Aku percaya padamu. Tapi ini tidak mudah bagiku.”

“Baiklah. Aku akan menunggu.”

Dan tahukah kau, berapa lama kau menunggu? Selamanya. Karena kotak hitam itu tetap tersimpan utuh di tempatnya. Tak tersentuh.

****

Bandung, tujuh tahun lampau.

Dia berdiri di ujung jalan itu dengan perasaan gundah. Apa lagi yang telah dilakukannya? Kenapa semua orang yang dekat dengannya selalu berakhir dengan kematian?

“Kau membunuhnya!”

Suara itu masih mengiang. Tidak di dalam ruang kosong, tapi di dalam benaknya. Namun karena tunggal dan lengang, maka suara itu seperti gema yang berekor panjang.

“Tidak, aku tidak membunuhnya,” bantahnya sendiri, membela diri. “Aku tidak melakukan apa-apa, dia tiba-tiba terserempet truk dan terjungkal.”

“Tapi kau ada di situ.”

Ocha menangis. Dia ada di situ. Dicki ada di situ juga. Terbujur kaku bersimbah darah. Beberapa menit lalu mereka masih berboncengan dengan tawa sumringah. Sekarang?

Jangankan sekarang. Sepuluh bulan lalu dia pun telah ‘membunuh’ Akmal. Karena cowok itu baru mengungkapkan perasaan cintanya dan mereka lalu menjalani hari-hari indah, maka cowok itu harus ‘berakhir’ cepat. Kawanan begundal mencegatnya, merampoknya, dan menghunuskan pisau di lambungnya sepulang mengantarkan ia belajar kelompok.

Dan Akmal bukan yang pertama. Gading pernah mengisi hari-harinya sebelum ‘melanjutkan perjalanan’ ke alam baka ketika pesawat yang ditumpanginya tersuruk ke dasar lautan.

“Kau adalah kutukan!”

Ocha menggigil di sudut kamarnya berhari-hari. Menepis segala bayangan buruk yang terus memburunya. Tidak. Aku tidak membunuhnya. Tapi karena kau dekat dengannya, maka dapat dikatakan kau membunuhnya. Mengapa begitu? Mengapa karena aku dekat maka aku dikatakan membunuhnya? Karena kau adalah kutukan! Tidak! Kutukan! Tidak…

Ia merasa sendiri. Semua memang tak ada yang menyalahkannya. Tapi ia selalu menyalahkan dirinya sendiri. Tak seorangpun menudingnya. Tapi suara-suara itu selalu menudingnya. Apakah ia terlahir dengan segala kebetulan yang selalu dekat dengan maut?

Tidak. Ini takkan pernah terjadi lagi. Ocha bertekad untuk mengakhiri semuanya. Karena ia tahu ini tidak rasional, maka ia berusaha untuk melawannya. Terbukti, dua tahun ia bertahan tanpa apa-apa. Meski Taufan telah mengisi hari-harinya lebih dari dua musim. Kini ia bisa bernapas lega. Taufan akan menjadi pelabuhan hatinya yang abadi. Cincin pertunangan emas putih pun tak ragu-ragu ia lingkarkan di jari manisnya.

****

Jakarta, setahun kemudian.

“Apa? Kanker?”

Taufan mengangguk lesu. “Stadium dua.”

“Kau…kau kelihatan sehat.”

“Tapi darahku tak sehat. Setidaknya itulah yang dikatakan dokter.”

Dan Ocha harus menghadapi kenyataan memiliki calon suami yang sekarat. Ia kemudian menjadi akrab dengan rumah sakit. Selang-selang infus, perawat yang hilir mudik, bau obat, dan sebagainya.

“Kau bisa pergi sekarang, Ocha,” ucap Taufan lemah. “Kau tidak harus selalu bersamaku.”

“Tapi aku tunanganmu, Mas.”

“Tunangan ‘kan belum tentu nikah.”

Mata Ocha memanas. “Aku ingin menikah segera.”

“Siapapun dia, aku ikhlas, Ocha.”

“Tidak, aku akan menikah denganmu.”

Dua minggu kemudian, ijab kabul itu pun dilaksanakan. Dan dua hari kemudian, Taufan pergi selamanya dengan penyakitnya.

Ocha menanggung perih yang tak tertahankan. Ternyata suara-suara itu benar. Ia adalah kutukan.

****

Riza – Ocha.

“Halo?”

“Halo, Ocha.”

“Maaf, ini siapa ya?”

“Riza.”

“Riza?”

“Mahasiswa pasca.”

“Oh, ada yang bisa aku bantu?”

“Banyak.”

“Ma…maksudnya?”

“Hanya kau yang bisa membantuku.”

“A…apa yang bisa aku bantu?”

Tak ada jawaban. Hening. Lalu…

“Aku ingin dekat denganmu.”

“Ma…maksudnya?”

“Aku ingin mengenalmu lebih dekat.”

Sebagai sekretaris direktur program pasca, ia terbiasa dengan permohonan bantuan administratif mahasiswa. Tapi belum pernah ia menemukan yang seaneh ini.

“Aku nggak ngerti maksud…”

“Kau mungkin tak pernah memperhatikanku, tapi aku selalu memperhatikanmu.”

“Di.. di mana?” Ocha mulai merasa takut.

“Di kelas.”

“Kapan?”

“Setiap kali kau datang.”

Ocha mencoba mengingat. Ia hanya pernah terkesan dengan seseorang yang memperhatikannya dengan mata penuh tanda tanya.

“Apakah kau…”

“Ya, aku Riza.”

“Yang mana ya?”

“Aku suka warna merah.”

Dan Ocha seperti beku di tempatnya. Kau!

Apakah kau datang untuk membuka kotak hitam itu? Apakah kau ingin mengetahui sisi kelam dalam diriku? Yang untuk mengingatnya pun terasa berat? Siapakah kau sebetulnya? Mengapa kau begitu tertarik untuk mengetahuiku lebih dalam?

Telepon hening.

Dan kau sudah mengingatku, Ocha? Bagus. Berarti kau mulai mengerti apa yang kuinginkan. Aku hanya ingin mengetahui kisahmu. Aku hanya ingin menyibak kabut yang kulihat selalu menggantung di retina matamu. Aku hanya ingin menyeka jelaga yang menyelimuti relung kisahmu.

Hening.

Apakah kau sungguh-sungguh? Apakah kau siap menanggung risikonya? Apakah kau siap berakhir seperti yang lain? Aku tidak siap. Membayangkan apa yang akan terjadi saja sudah membuatku takut. Kukira cukup. Hidupku sudah berakhir dengan kepergian Taufan.

“Ocha…” suara tebal laki-laki itu membangunkan Ocha.

“Riza, atau siapapun kau, kau tidak tahu apa yang sedang kau lakukan.”

“Kenapa? Apakah aku salah? Aku cuma ingin…”

“Aku punya kotak hitam yang tak pernah kubiarkan seorangpun mampu menemukannya.”

“Setiap orang punya kotak hitam, Ocha. Dan kita tidak harus menemukannya. Biarkan dia tersimpan aman di tempat yang tak terlacak.”

“Tapi selama kotak hitam itu ada bersamaku, tak seorang pun boleh berdekatan denganku.”

“Kenapa? Kau takut aku curi kotak hitam itu?”

“Tidak, justru aku takut kau akan menjadi bagian dari kotak hitam itu.”

“Kalau begitu, biarkan aku menemukan kotak hitam itu. Akan aku hancurkan!”

“Kau begitu optimis. Kau tidak tahu seberapa berbahaya apa yang kaulakukan.”

“Aku selalu optimis, karena aku selalu siap menanggung risiko perbuatanku.”

See, kau begitu gagah. Kaulah laki-laki sempurna yang pernah kutemui. Hatimu segagah posturmu. Sanggupkah aku kehilanganmu? Atau kehadiranmu justru awal dari segala ketakraguan? Sesungguhnya aku lelah dalam ketakutan. Aku butuh sayap optimis dan keberanian. Yang dengannya aku bisa melibas suara-suara itu. Yang dengannya aku bisa berjuang melawan segala kebenaran yang menyakitkan.

“Kalau begitu… kapan kau ingin menemuiku?”

“Sekarang.”

“Sekarang?”

“Ya, sekarang. Aku di depan rumahmu sekarang.”

Seperti tersengat, Ocha segera bangkit dari tempatnya, dan berlari ke dekat jendela.

Laki-laki itu benar. Dia sudah menunggu di depan. Dengan segunung optimisme. ****

Selasa, Oktober 30, 2007

And the Guy Who Sent a Valentine Bouquet is..., CHIC No.4, Feb 2008

And The Guy Who Sent A Valentine Bouquet Is…
Cerpen Sukma Wie


Audy selalu memberi kejutan di pagi hari. Apakah itu gosip tentang Mr Estes bos kami yang cool, atau sebuah rush job yang harus selesai sebelum pukul 12.00 a.m teng! Dan itu pasti memancing komentar teman-teman seisi kantor dengan nada yang sama seolah-olah sebuah koor paduan suara: “ha??”, “masa’ siiih??”, “ahh…yang bener?!” “Masa si bule gitu?” atau… “duh, mati gue!”, “apa ngga bisa diundur due midnight?”, “bakalan sport jantung gue pagi ini!”, “gile lo Dy, ngerjain orang pagi-pagi!”

Tapi begitulah. Audy selalu tak mau peduli. Sebagai sekeretaris Mr Estes, katanya ‘dia cuma menjalankan tugas’. Ya, Audy memang sudah terkenal sebagai terminal distribusi tugas-tugas rush job sekaligus gosip center si bos.

Namun pagi ini kejutannya agak berbeda.

“Pagi, Chita!” sapa Audy seperti biasanya, ramah dan misterius-progresif.

“Pagi, Dy!” balasku tak kalah ramah. ”eh, si bule udah datang, blom?” sambungku dengan nada dan volume diturunkan 50%.

“Tenang…si bule blom datang…tapi ada penggantinya,” senyum Audy semakin misterius-progresif.

“Penggantinya? Emang si bule udah ciao?”

”Masih...masih... tapi ini maksud gue bukan pengganti si bule, tapi pengganti gosip tentang si bule.”

”Kejutan atau kutukan?”

”Tergantung cara lo memandangnya...tapi kayaknya lebih deket ke kutukan deh...huehehe...” Audy tertawa ngakak, ”Kutukan manis!” sambungnya seru.

”Ah elo!” aku baru mau beranjak pergi ke mejaku yang berada di ruangan di sebelah ruangan Audy ketika mataku tiba-tiba menangkap benda menarik yang dikeluarkan Audy dari bawah meja. ”Buket dari mana, Dy? Gile, romantis banget! Ada juga yang khilaf mau merhatiin elo hihihi...”

”Ini bukan buat gue, tau...tapi buat elo!”

”Gue??”

“Nih…” Audy menyodorkan buket bunga yang terkemas indah dengan pita pink yang…aduuuuh romantis banget! “…tanpa nama pengirim, tanpa tanda terima, satpam yang bawa kemari…katanya dari seorang cowok…sejak kapan ada cowok yang khilaf merhatiin elo?”

Aku tidak menyimak ucapan dan gurauan Audy. Kepalaku langsung dipenuhi tanda tanya. Siapa yang ‘berani-berani’nya mengirim tanpa mencantumkan nama pengirim dan alamat begini? Pasti kalau bukan teroris, ya manusia gokil yang mau mengerjai aku. Tapi siapa? Hezel yang anak art itu memang suka godain aku, tapi untuk iseng mengirim buket bunga yang (jujur aja menurutku rada-rada norak) seperti ini, kayaknya nggak mungkin deh. Atau Ary yang misterius itu? Atau ini taktik Audy (dan teman-teman) aja yang kurang kerjaan tiba-tiba kesambet pikiran iseng mau mengerjai aku dengan mengarang cerita dikirim sama cowok? (tapi ini bisa aku konfirmasikan ke satpam apa benar). Lantas siapa ya? Semua berpusaran di benakku dan tak satu pun menyimpulkan kepastian. Agaknya aku harus mencari tahu sendiri siapa pelakunya, atau forget it (toh nggak penting-penting amat). Siapapun pengirimnya, yah.. thank you aja deh.

***

Valentine.

Hmmm. Sebuah kata yang manis tapi sekaligus pahit buatku. Manis, karena telah menggoreskan berpuluh musim indah bersama Gibran yang takkan pernah kulupakan. Namun juga pahit, karena di hari istimewa ini pulalah Gibran pergi dari sisiku dengan cara yang amat mengenaskan!

Kenangan itu tak pernah lepas dari ingatanku. Di suatu malam, saat mobil yang dikendarai Gibran menepi di depan sebuah restoran yang akan kami jadikan momen valentine’s date. Ketika Gibran keluar dan berjalan memutari depan mobil untuk membukakanku pintu, mendadak dari arah yang tak terduga melaju sebuah pick-up dalam kecepatan tinggi dan menyerempet tubuh Gibran hingga cowok terkasih itu terlempar beberapa meter membentur trotoar jalan. Refleks aku menjerit, dan seperti ada kekuatan yang membantuku segera keluar dari mobil untuk memburu ke trotoar. Di sana Gibran terkapar berlumuran darah. Aku memeluknya sambil berteriak meminta tolong. Seorang satpam dan beberapa pengunjung restoran ikut berlari mendekat untuk menengok, dan beberapa saat kemudian terdengar suara sirene ambulans mendatangi.

Gibran tak terselamatkan. Tentu saja. Benda tak bernyawa pun akan hancur berkeping bila diserempet dengan kekuatan maha dahsyat seperti itu. Tak henti-hentinya aku mengutuk pengendara pick-up putih yang kabur dan tak bertanggung jawab itu. Apalagi setelah kuketahui polisi ternyata tidak berhasil mengidentifikasi siapa pelaku tabrak lari itu. Dendamku semakin menjadi-jadi. Ingin rasanya aku membalas perbuatannya yang telah merenggut nyawa Gibranku. Berhari-hari aku tenggelam dalam duka yang dalam. Sulit untuk memahami apalagi mempercayainya. Bagaimana mungkin dalam sekejap laki-laki terkasihku itu terenggut di depan mataku, justru di saat kami sedang merayakan sebuah momen spesial yang jutaan pasangan di dunia ini pun sedang merayakannya.

Yani, sahabatku, berkali-kali meyakinkanku bahwa hidup memang tak pernah bisa ditebak arahnya. Karena Sang Pemilik Hidup bisa mengambilnya sewaktu-waktu dengan cara apapun yang Ia kehendaki. Yani terus menabah-nabahkanku dan menguatkanku untuk menerima kenyataan dengan lebih rasional. Yah... Lambat-laun akhirnya aku bisa memahami dan menerima bahwa semua itu kehendak Yang Di Atas. Tapi dendamku tak pernah surut. Aku sulit melupakan kejadian itu, dan terlebih, sulit memaafkan pelakunya. Ingin rasanya aku bertemu dan menggilasnya sampai hancur, seperti ia telah menggilas hancur hati dan masa depanku bersama Gibran.

Ah, Gibranku sayang. Di saat-saat seperti ini aku selalu dipaksa kembali untuk mengenang laki-laki pujaanku itu. Candanya, senyumnya yang hangat, perhatian-perhatiannya yang selalu gentle, semua... Bahkan masih tercium wangi khas Bvlgari Acqua yang selalu meruap dari tubuhnya yang tegap.

”Chita, still working?” tiba-tiba aku dikejutkan oleh Mr Estes yang sudah berdiri di sisiku.

Yes, I have to finish a little job.”

Ok, see you tomorrow,” Mr Estes sudah hendak berbalik menjauh ketika tiba-tiba tubuhnya membalik kembali. “Happy Valentine, Chita,” senyumnya misterius. Si Bule ini cukup menarik sebetulnya, sayang demennya sama cewek-cewek high-class sekelas Tamara atau Luna Maya.

Happy Valentine, Mr Estes,” aku membalasnya dengan ramah sambil memandang senyumnya yang menghilang bersama punggungnya.

Kembali aku menekuri monitor di depanku. Sesungguhnya ’a little job’ yang aku maksud tak lain adalah ’a big thing’ yang sedang menetas di alam kenanganku. Monitor di hadapanku hanyalah sebagai pajangan. Sedikitpun tak tersentuh perhatianku.

Ahh...life goes on...aku pun segera men-shut down komputer dan merapikan mejaku. Aku tidak bisa tenggelam terus-menerus dalam kesedihan sementara waktu terus berlari di hadapanku. Forgive and forget, mungkin sebuah ungkapan ampuh yang bisa menyembuhkan. Akan kucoba.

Aku lalu mematikan AC dan lampu ruangan. Di ruangannya Audy sudah lenyap sejak pukul 5 sore tadi. Dia hanya say goodbye sebentar lantas terbang bersama teman-teman cewek lain. Semua ramai membicarakan topik yang sama: Valentine.

Melewati ruangan berikutnya, aku mengintip Ary yang memandangku misterius. Ia adalah Account Manager paling ’tak terjangkau’ di kantorku. Nggak banyak omong. Ia hanya membalas sapaanku singkat dengan senyum terpendek di dunia, lantas membuntutiku dengan matanya yang tajam. Di lobi aku bertemu Hezel. Seperti biasa, ia selalu menggodaku.

”Pasti nungguin aku ya, makanya sengaja pulang telat,” ucapnya dengan senyumnya yang charming. Sebetulnya kalau aku tidak sedang ’terikat’ sama Gibran, sudah lama kubalas sinyal agresif cowok ini. Apanya coba yang kurang pada dia. Charming, kreatif, perhatian, dan dia punya appeal tersendiri yang jarang ada pada pria lain.

”Kalau iya, kenapa?” balasku menantang.

”Jadi mau nih, pulang bareng?”

”Mau dooong, siapa juga yang nggak mau sama cowok seganteng Hezel.”

Hezel tersenyum sambil menggerakkan tangan ”yess!” di udara beberapa kali.

Aku segera menyambung, ”Tapi barengnya sampe di pintu aja ya.”

”Yaa, Chita...” lenguhnya kecewa.

”Yuk, pulang bareng,” aku mengajak cowok itu yang dengan senang hati menggandeng tanganku sampai pintu. ”Oke, bye...” aku melepaskan genggamannya dan buru-buru mendorong pintu ke luar.

”Chita...” ia masih berdiri penasaran memandangku. ”Happy Valentine...”

Aku cuma menjawabnya dengan senyum sambil mengacungkan jempol. Ia tetap tampak penasaran, seperti sudah merencanakan sesuatu untukku, tapi tak kesampaian. Aku berjalan terus menuju trotoar di depan kantor. Beberapa detik kemudian sebuah taksi berwarna biru mendekat. Aku segera menumpangnya dan meluncur di sela keramaian malam kota. Entah kenapa feel-ku kok di mana-mana seperti serba merah jambu. Ada aura hangat yang menyembul, serasa seisi kota sedang berpesta merayakan Valentine’s Nite. Lampu-lampu reklame seperti menari-nari, bahkan lampu sorot kendaraan tampak berkilau ceria turut menghiasi malam. Terdengar musik romantis, hmmm.. bahkan radio yang diputar sopir taksi pun mendendangkan lagu Valentine-nya Martina McBride.

Tapi lambat-laun, aku merasakan ada suatu keanehan. Sorot lampu dari salah satu kendaraan di belakang taksi terlalu terang dan menyilaukan. Aku menoleh. Sulit melihat jelas siapa, karena terhalang cahaya lampu yang overlighted. Aku menyuruh sopir taksi untuk pindah jalur. Benar, mobil di belakang kami ikut pindah jalur. Hatiku mulai was-was. Apakah mobil di belakang itu sengaja membuntuti atau kebetulan saja?

Akhirnya aku mengambil keputusan mendadak begitu taksi melewati sebuah pusat perbelanjaan yang cukup ramai.

”Pak, stop di sini, Pak.”

”Nggak jadi ke Mampang?”

”Nggak, Pak. Aku mau beli sesuatu.”

Taksi akhirnya berbelok dan berhenti tepat di depan mall. Aku segera turun setelah membayar dan setengah berlari memasuki bangunan penuh cahaya itu. Sempat aku menoleh ke belakang, mobil itu sudah tak kelihatan.

Namun belum sempat aku melangkah lebih ke dalam, tepat di sebuah tikungan yang dibatasi pilar besar, mendadak sesuatu menyentuh lenganku dengan lembut membuat jantungku nyaris melompat.

”Chita?” Sharita tiba-tiba muncul seperti memotong mimpi burukku. ”Mau ke mana? Kok kamu pucat sekali kayak baru ngelihat hantu?”

”Aku... aku... eh, Ta, lagi ngapain?”

”Ya belanja dong...sekalian survey kecil-kecilan...” Sharita adalah karyawan dari divisi strategic planning di agency tempat aku bekerja. Kerjaannya memang melakukan survey konsumen. ”Kamu ngapain?”

”Oh aku juga mo belanja, Ta.”

”Yuk, kalo gitu barengan aja.”

Kami pun berjalan barengan memasuki supermarket, sambil aku diam-diam berusaha menetralisir debar jantungku. Setelah ngobrol sana-ngobrol sini sembari belanja (aku cuma membeli sebuah pembersih wajah untuk stock begitu menyadari sebenarnya aku tidak sedang butuh belanja apa-apa), Sharita mengajak aku pulang bareng dengan mobilnya. Dia akan mengantarku sampai rumah. Tapi ketika tiba di lapangan parkir (atau tepatnya taman terbuka) yang luas, mendadak Sharita seperti diingatkan sesuatu.

”Aduh, aku lupa beli pampers, Chit. Kamu tunggu di mobil aja ya, sebentar kok.”

Aku mengiyakan dengan perasaan tak enak karena sudah merepotkannya. Beberapa saat setelah Sharita menghilang, aku segera melangkah sendiri menuju mobil Sharita yang sudah aku kenal. Namun rupanya aku tak perlu bersusah-payah berjalan jauh, karena di sebuah keremangan lampu yang dinaungi pohon akasia, mendadak sebuah tangan menarikku cukup keras sehingga belum sempat kuteriakkan kata pertolongan, tangannya yang satu sudah membekap mulutku dan setengah menyeret membawaku ke mobil yang terparkir tak jauh dari tempat itu.

”Sebaiknya kau tidak berteriak,” sebuah suara berat mengancamku. ”Karena aku tidak akan mengapa-apakan kamu sepanjang kamu tidak berbuat yang mencurigakan.”

Dalam bekapannya, wajahku mengangguk setuju. Ia lalu melonggarkan bekapannya dan setengah memaksa menyuruhku duduk di jok depan. Setelah menutup pintu, sosok asing itu lalu memutar dan mengambil tempat di depan setir.

”Siapa kau, dan mau kau bawa ke mana aku, apa maumu sebenarnya?” tanyaku beruntun.

Ia hanya melirikku dengan sekilas senyum menyeringai. Astaga, baru kusadari alangkah menariknya wajah ’sang tokoh jahat’ yang barusan membekap dan menculikku dengan paksa ini. Aku makin penasaran. Tapi sikapnya sangat dingin dan cuek.

Ia mulai menyalakan mesin dan menjalankan mobil untuk membawaku entah ke mana.

”Hei, siapa kau dan mau kau bawa ke mana aku?” ahh...sempat terbersit perasaan alangkah beruntungnya aku bertemu dan diculik penjahat terganteng sedunia, tapi pikiran rasional segera menyadarkanku.

”Kau diam saja! Ingat, aku nggak akan ngapa-ngapain kamu selama kamu nggak bikin aku hilang sabar.”

”Hei, gimana mungkin aku nggak bertanya kalau aku nggak kenal kamu dan tiba-tiba...”

”Diaaaaam!!!” bagaikan guntur yang menggelegar suaranya seketika menghentikan seluruh aliran darahku. Kini aku melihat wajahnya pun tegang.

Gugup, aku membuang pandang ke arah jalan dan membiarkannya menyetir tanpa suara. Tapi aku tahu, di balik dadaku, jantung ini mengalahkan debar jantung sprinter tercepat di dunia. Lama terdiam, mataku akhirnya mencuri lirik ke wajahnya. Hmmm, kalau saja dia bukan orang jahat, aku yakin banyak wanita yang bertekuk lutut oleh pesonanya. Aku bahkan hampir tidak bisa membedakan wajah Brad Pitt saat lupa cukuran dengan wajah pria di sampingku ini. Sungguh mempesona dan macho! Tulang rahangnya membentuk garis aristokrat yang kental. Hidungnya mancung kukuh, alisnya lebat dan matanya tajam menghunjam ke depan. Aku memperhatikan otot lengan dan dadanya yang keras. Hei, apakah ilusi pangeran Hollywood benar-benar hadir di depan mata?

Tiba-tiba HP-ku berdering. Aku melirik ke display. Sharita calling.. Aku meliriknya sebentar, dan seperti tahu maksudku, ia segera mengangguk dengan syarat, ”kau tahu apa yang harus kau katakan, jangan macam-macam!”

Aku lalu menjawab panggilan Sharita dan berbohong dengan mengucapkan maaf karena harus terburu-buru pulang. Sharita sempat menanyakan apakah aku baik-baik saja (mungkin ia meraba sebuah getaran tak wajar dalam nada suaraku?), dan aku menjawab I’m fine. Ia lalu say goodbye and take care. Aku kembali melirik si pria asing yang tetap cool mengendarai mobil. Tiba di sebuah restoran, ia melambatkan mobil untuk mencari parkiran. Aku terkejut. Ini kan...?

”Aku ingin mentraktirmu makan,” ucapnya datar seperti dapat membaca pikiranku.

”Tapi... kenapa di sini?”

”Kenapa? Nggak suka? Aku sudah memesan meja...”

”Kau... siapa kau sebenarnya?” tanyaku akhirnya, nggak tahan.

Ia tersenyum sedikit lebar. Masya Allah, baru lebar sedikit begitu saja senyumnya sudah hampir meruntuhkan langit hatiku. ”Anggaplah aku kencan Valentine misteriusmu,” sahutnya enteng. Ia lalu memutar dan membukakanku pintu mobil. Dengan lembut kemudian diraihnya tanganku dan menuntunku ke dalam. Anehnya, aku menurut saja. Antara rasa takjub, penasaran, takut, dan terbius pesonanya berbaur jadi satu.

Benar saja. Di dalam ia sudah menyiapkan meja di ruangan private yang ditata sangat romantis. Aduh, kalau saja ini bukan perangkap, aku sudah meluapkan perasaanku sedemikian rupa. Wanita mana yang takkan tersanjung dijamu seistimewa ini. Tapi begitulah. Ini ibarat istana di celah lembah sunyi dan terpencil. Kami menikmati santapan tanpa suara. Bahkan ketika ia menghampiriku untuk membantu menuangkan minuman dessert sehingga membuatku dapat mencium aroma maskulin tubuhnya, ia hanya membuatku terpaku tak berkutik di tempat.

Lantas beberapa menit kemudian kami pun kembali ke mobil. Aku merasa agak risih ketika tangannya menggenggam mesra tanganku, apalagi beberapa waitress yang memandangku seperti tak percaya cowok seganteng pria ini mau berjalan bersisian denganku yang... astaga, baru aku sadari betapa lusuhnya aku dengan pakaian kerja. Tiba-tiba aku merasa malu sekali. Tapi apa mau dikata. Aku hanya menuruti saja maunya.

Di dalam mobil, tiba-tiba aku tercenung memandang trotoar di depan. Ia (lagi-lagi) seperti dapat membaca pikiranku.

”Maafkan aku, aku nggak bermaksud...” mendadak suaranya terdengar lembut.

Aku meliriknya dan mengangkat tangan. ”It’s ok. Ini nggak ada hubungannya dengan kamu.”

Are you sure?”

Yes, absolutely! Aku punya kenangan pahit di sini, ngngh...pribadi...”

”Gimana kalo ada hubungannya denganku?”

”Maksud kamu?” kini aku memandangnya tak mengerti.

”Chita, maafkan aku. Akulah yang mengirim buket bunga itu. Aku pula yang membuntuti taksimu. Aku...”

”Kau tau namaku??”

Ia mengangguk. ”Aku sepupunya Yani.”

Kini aku makin tercengang. ”Kenapa kau lakukan semua itu?”

”Aku... aku cuma ingin minta maaf.”

What for?”

”Akulah yang menyerempet pacarmu dua tahun lalu...”

Tiba-tiba saja aku merasa seperti mendengar kabar terburuk sepanjang segala abad. Lama aku ternganga sampai tahu-tahu tanganku sudah bergerak memukul dadanya. ”Kamu!” seruku pedih. ”Kamu telah membunuh orang yang paling aku cintai, kamu telah merenggut masa depanku, kamu telah mengambil semua kebahagiaanku, kamu...” suaraku tersekat di tenggorokan. Terlalu banyak yang ingin aku tumpahkan, yang sudah aku pendam bermusim-musim lamanya, dalam kesedihan, dalam dendam, dalam keputusasaan...dan kini aku menemukan muara yang tepat. Ingin sekali aku membunuh makhluk terkutuk di hadapanku ini, tapi yang aku lakukan hanya menangis. Aku terisak tanpa daya.

”Maafkan aku, Chita. Aku merasa berdosa sekali. Apalagi begitu tahu cerita Yani tentangmu, aku merasa tak tahan menanggung rasa bersalah terus-menerus. Akhirnya sebulan lalu aku putuskan cerita ke Yani dan dia marah besar. Sampai aku katakan ingin meminta maaf langsung kepadamu. Tapi aku punya rencana lain. Aku ingin menuntaskan kebahagian yang tak sempat kau nikmati saat malam valentine itu. Aku ingin memberi kamu surprise, yang aku harap bisa menyenangkan kamu. Aku....”

”Aku nggak mengharapkan semua itu!!” tiba-tiba saja suaraku menggelegar. ”Aku ingin kamu segera menyerahkan diri ke polisi!”

”Aku akan lakukan itu. Tapi aku harus mendapatkan dulu pemberian maafmu,” sekonyong-konyong tangannya meraih kepalaku dan memelukku erat-erat membuatku susah bernapas. Aku tenggelam dalam sesak aroma maskulin dadanya.

”Tidak,” bisikku berkeras. ”Aku nggak akan memaafkanmu, sampai kau mengembalikan kebahagiaan yang sudah terenggut bersama orang yang aku cintai.”

”Chita, please,” ucapnya memohon. ”Aku rela melakukan apa saja agar kau mau memaafkanku.”

”Nggak! Kau harus dihukum mati!”

”Kalau itu bisa membuatmu memaafkanku, aku mau...”

”Kamu? Kamu mau dihukum mati?”

Ia mengangguk. Sedikitpun tak ada keraguan di wajahnya. ”Apapun, asal kau mau memaafkanku.”

”Aku...,” keraguan seketika meruak dari sela hatiku. ”Oke... aku memaafkanmu, tapi dengan satu syarat...”

Ia menjauhkan wajahku sebentar. ”Apa?”

”Malam ini juga kau harus serahkan diri ke polisi.”

Ia kembali memelukku erat. ”Oh, terimakasih, Chita. Sekarang bebanku mulai berkurang. Aku akan segera menyerahkan diri...”

”Oke, oke, tapi lepaskan aku.”

”Oh, maaf,” ia segera mengembalikan wajahku ke letak semula dengan hati-hati sekali. He’s so sweet. ”Aku... aku juga minta maaf telah membuatmu takut tadi...”

Aku mengangkat dagu. ”Asal kau segera mengantarkan aku pulang, maafmu kuterima.”

”Oke, bos!” Ia segera menghidupkan mesin.

Dalam perjalanan kami lebih banyak terdiam. Tapi aku tahu, matanya sesekali melirikku (karena aku pun diam-diam meliriknya). Entahlah, perasaanku tiba-tiba gelisah. Aku tahu beberapa menit lagi ia akan segera ke kantor polisi untuk menyerahkan diri. Tapi sikapnya yang penuh perhatian dan pengakuannya yang tulus dan berani itu seperti menumbuhkan sesuatu yang tidak aku mengerti dalam diriku.

Ia mengantarku sampai di depan pintu rumah. Dan ketika punggungnya menjauh, aku merasakan sepotong hatiku pun gugur dan lepas.

”Aku belum tahu namamu,” ucapku sedikit panik seperti akan kehilangan sesuatu.

Ia membalik dan tersenyum, senyum yang pasti membuat banyak wanita bertekuk lutut. ”Panggil aku Reza.” Dan tubuhnya pun menghilang dalam malam.

Mengapa Lebaran Selalu Indah, FEMINA No.40, September 2007

Mengapa Lebaran Selalu Indah
Cerpen: Sukma Wie


Di r
umah Sasti

“Mbok ya ditunda dulu to Sas, lamarannya…” rajuk ibu sambil mengiris kentang di meja dapur.

Sasti yang sedang memeriksa cake di dalam oven, segera mendongak. “Emang kenapa kalau sekarang?”

“Ibumu ini belum siap ditinggal sendiri,” mulut wanita separuh baya itu makin manyun dan potongan-potongan kentangnya seperti sengaja ditekan-tekan.

Sasti tersenyum menghampiri. Dari belakang tangannya langsung melingkar di pinggang wanita itu. “Kalau nggak sekarang, kapan lagi? Mau, ibu melihat putri semata wayangnya jadi perawan tua? Lagi pula Mas Fajar ‘kan sekalian silaturahmi bawa orangtuanya kemari. Mumpung Lebaran…”

Ibu tidak menyahut. Ia terus saja mengiris-iris kentang dengan perasaan kesal.

Sasti melanjutkan, “Dulu waktu Tante Audy minta saran Ibu untuk menikahkah putrinya, Ibu usulkan supaya lamarannya di hari Lebaran aja. Kata Ibu itu adalah hari penuh berkah. Hari baik. Lha, putrinya sendiri mau dilamar di hari Lebaran kok minta ditunda?”

“Itu ‘kan lain. Audy tidak bakalan sendirian kalau putrinya diboyong suami pergi.”

Sasti tersenyum sambil mengeratkan pelukannya. “Memangnya habis Lebaran Sasti langsung diboyong pergi?”

“Tapi ‘kan tinggal menghitung hari. Pokoknya makin lambat makin bagus. Biar acara mantennya juga makin lama.”

Kali ini Sasti tak dapat menahan tawa. “Ibu lucu ih…”

Ibu merangsek manja, mencoba melepaskan diri dari pelukan Sasti “Ibu memang badut.”

“Lho, kok Ibu ngomong gitu?”

“Abis…kamu itu nggak sadar-sadar kalau Ibu sedih bakal kehilangan kamu.”

“Ibu…” Sasti kembali merangkul ibunya. “Ibu nggak bakalan kehilangan Sasti. Sasti dan Mas Fajar akan rutin mengunjungi Ibu. Lagi pula kalau kesepian ‘kan Ibu bisa nyewa DVD.”

“Mana seru kalau nonton sendiri.”

“Makanya, Ibu jangan mau kalah dong sama Sasti. Ibu itu masih cantik lho. Pasti banyak laki-laki yang mau jadi suami Ibu. Bapak nggak usah dipikirin lagi deh. Udah lewat. Biarin aja dia senang-senang sama keluarga barunya. Dia aja nggak pernah mikirin Ibu.”

“Ih, siapa juga yang mikirin Bapakmu!”

“Hayo…yang tiap malam fotonya ditaruh di bawah bantal itu siapa?”

Tanpa terduga, sebuah senggukan terdengar sayup-sayup lalu makin lama makin jelas, bersamaan dengan terhentinya gerakan tangan Ibu mengiris kentang.

“Ibu…? Maafkan Sasti…”

“Ibu belum bisa melupakan penghianatan Bapakmu.”

Sasti mengerti. Tidak mudah melupakan sakit hati dari sebuah cinta yang tak pernah mengenal lelah. Sasti menyaksikan sendiri bagaimana Ibu demikian patuh dan setia melayani Bapak. Bagaimana Ibu menaruh kepercayaan yang begitu besar pada pundak laki-laki itu. Namun, Sasti pula yang jadi saksi bagaimana sepotong hati hancur berkeping-keping ketika laki-laki itu pergi tanpa ampun meninggalkan Ibu. Awalnya Sasti pun tak bisa menerimanya, tapi waktu dan kesibukannya merangkai kisah cintanya sendiri di kampus lambat laun menghapus rasa sakit itu. Tidak seperti Ibu yang tetap menyimpan perasaan sakit yang meskipun senantiasa disembunyikannya namun selalu bisa dibaca oleh Sasti. Ya, sakit karena cinta adalah sakit yang tak ada obatnya. Kecuali oleh cinta itu sendiri.

***

Di rumah Fajar

“Ayolah, Pa. Lebaran kali ini Papa jangan ke mana-mana. Papa lamarin Sasti dong, sekalian silaturahmi sama keluarganya,” pinta Fajar begitu tahu ayahnya akan ke Kairo untuk urusan bisnis, seperti tahun-tahun lalu. Ia paham betul tabiat ayahnya yang sangat getol menyibukkan diri, bepergian ke sana kemari mengurusi bisnis-bisnisnya, sejak Ibu meninggal tiga tahun lalu.

“Tapi schedule Papa sangat padat dan ketat. Partner Papa bisa kabur kalau Papa nggak bisa bersikap profesional,” kilah ayahnya.

“Meskipun harus mengorbankan momen penting untuk anak Papa sendiri?”

“Fajar, kamu udah gede. Lamaran bisa ditunda kapan saja. Nggak harus sekarang-sekarang.”

“Tapi ini kesempatan, Pa. Lagipula Fajar udah janji ma Sasti dan keluarganya.”

“Itulah kamu suka bikin perjanjian sendiri tanpa melibatkan Papa.”

“Habis Papa sibuk melulu sih.”

“Kan hape Papa nggak pernah nggak diangkat kalau dari jagoan Papa. Kapan, coba, Papa nggak angkat?”

“Iya deh, Pa, sorry. Fajar yang salah. Tapi Papa bisa, kan, Lebaran besok ikut ke rumah Sasti? Pliiis, Pa, sekali ini saja.”

“Papa udah bilang itu bisa ditunda nanti-nanti. Nggak harus hari Lebaran.”

“Fajar tahu kenapa Papa selalu menghindari Lebaran di rumah.”

“Sok tahu kamu.”

“Papa ingin menghindari kenangan Lebaran bersama Mama, kan?”

“Sok tahu kamu, monyet kecil.”

“Iya kan, Pa?”

Papa terdiam. Lalu terdengar helaan napasnya yang berat berbarengan dengan pandangan kosongnya yang menembus ke luar jendela. Entah apa yang dipikirkan laki-laki itu, namun Fajar bisa meraba bayangan yang melela di pupil matanya. Ya, bayangan seraut wanita cantik di usianya yang hampir limapuluh. Senyum yang menawan dibalut kerudung lembut, selembut hatinya. Laki-laki mana yang takkan terpatri pada hati seindah itu? Fajar malah sempat berpikir bahwa dia tidak akan menikahi wanita kecuali wanita itu menyerupai bundanya. Wanita yang setia, lembut, menyejukkan, dan sangat mengerti segala hal mengenai suami dan anaknya. Kasihnya yang demikian besar melampaui batas segala pamrih.

Namun cepat disadarinya bahwa pikiran itu kurang bijaksana, karena tak mungkin ada dua orang yang serupa persis di dunia ini. Hingga akhirnya hadir Sasti dalam hidupnya, yang menyodorkan pandangan baru tentang wanita ideal untuk dijadikan pendamping hidup. Dengan segala kekhasan sifatnya, Sasti mampu mengisi celah kosong di sisi hatinya. Gadis itu sangat spontan, apa adanya, lucu, kadang manja, tapi juga dapat bersikap dewasa. Yang pasti, satu hal yang membuatnya mantap dengan keputusannya, adalah bahwa wanita itu selalu membuatnya nyaman berada di sisinya. Ia ingat ucapan papanya suatu hari, “Kamu hanya perlu mencari wanita yang membuatmu nyaman dan percaya diri berada di dekatnya. Itulah syurga!”

Hmmm...namun ’syurga’ Papa sendiri telah tiada. Kanker rahim telah membawanya terbang ke syurga harfiah. Wanita syurga memang kadang hanya bisa ditemui sekali dalam hidup. Kecuali Tuhan berbaik hati menawarinya lagi.

***

Sedan hitam mengkilap itu berhenti tepat di depan sebuah rumah bercat putih kehijauan dengan halaman yang asri penuh tanaman hias. Pak Hariansyah keluar setelah dibukakan pintu oleh sopir, disusul putranya Fajar. Kali ini laki-laki itu tampak sangat tampan dengan kemeja batik coklat terang. Keduanya berjalan masuk ke halaman, dengan langkah penuh percaya diri. Pak Hariansyah berkali-kali melirik anggrek bulan berwarna ungu di pojok halaman. Anggrek itu sedang mekar dan sangat menawan tertimpa cahaya lembut matahari.

Setelah mengetuk pintu sesaat, keduanya kemudian disambut ramah oleh Sasti yang siang itu mengenakan gaun terusan dari bahan satin berwarna hijau pupus, dengan kerudung lepas berwarna senada. Fajar tak henti-hentinya memandangnya kagum.

“Minal aidin wal faidzin,” sambut Sasti hangat sambil mencium tangan Pak Hariansyah yang membalasnya dengan mengusap hangat kepalanya. Meskipun baru beberapa kali bertemu laki-laki itu, namun karena sikap Sasti yang supel membuat laki-laki itu cepat terpikat dan akrab dengannya. “Bentar yah, Sasti panggilin Ibu.”

Tapi belum lagi Sasti beringsut ke belakang, sekonyong-konyong sesosok wanita separuh baya dengan dandanan cantik keluar dan langsung disambut hormat oleh Fajar.

“Tante, minal aidin wal faidzin…maaf terlambat dikit.”

“Oh nggak apa-apa… aduh, minumannya belum siap ya,” baru saja langkahnya hendak memutar kembali, tahu-tahu wajahnya berubah pias. “Kamu?!” tudingnya tiba-tiba pada laki-laki separuh baya di ruangan itu yang tak kalah pias pula wajahnya.

“Janna! Rupanya kau!” balas Pak Hariansyah.

Sasti dan Fajar memandang keduanya bergantian dengan pandangan melongo, tak mengerti.

“Jadi selama ini anak kita saling berhubungan?! Oh, tidak!” serta-merta wanita yang dipanggil Janna yang tak lain adalah ibu Sasti itu menarik lengan Sasti seperti ingin menjauhkannya dari Fajar.

“Kamu pikir aku pun akan setuju anakku berhubungan dengan anak wanita penghianat sepertimu?!”

“Kaulah yang penghianat! Kaulah yang tak tahu malu!” suara Janna melengking.

“Mana yang lebih berkhianat, aku atau kamu yang dengan entengnya mau dijodohkan dengan laki-laki lain?!”

“Keluarr!!!!” usir Janna dengan mata menyala.

“Janna,” ucap Pak Hariansyah dengan mata yang tak kalah nyala. “Sampai kapan pun aku tidak akan pernah lupakan penghianatanmu!” lalu ditariknya lengan Fajar seperti menarik lengan anak kecil untuk keluar dari ruangan itu.

“Pah,” cegat Fajar masih bingung. “Ada apa sih sebetulnya?”

“Sudah, Jar, lebih baik kita jauhi keluarga terkutuk ini.”

“Fajar nggak mau pergi sebelum segalanya jelas.”

“Fajar!!!” suara Pak Hariansyah tiba-tiba meledak.

Fajar kaget mendengarnya. Seumur-umur, semarah-marahnya ayahnya, belum pernah didengarnya suara semarah itu. Fajar menoleh ke Sasti yang juga sedang bertanya bingung ke ibunya.

“Laki-laki itu telah menghianati Ibu. Kau tidak pantas memiliki keturunannya. Buah pasti jatuh tidak jauh dari pohonnya,” jelas Bu Janna.

“Maksud Ibu, bapaknya Fajar mantan pacar Ibu?”

“Ibu kira kamu bukan anak kecil lagi yang tidak bisa menangkap maksud Ibu.”

“Tapi…tapi…Sasti nggak ngerti, kok…malah Ibu yang dituduh berkhianat..?”

“Karena Ibu menerima perjodohan dengan Bapakmu.”

“Berarti Ibulah yang salah.”

“Ibu lakukan itu untuk membalas penghianatannya. Dia memacari sahabat Ibu di belakang Ibu.”

Sasti ternganga. Refleks pandangannya melompat ke beranda. Kedua laki-laki itu rupanya sudah berjalan menuju ke luar halaman. Sasti memburunya ke pintu.

“Jar!” panggil Sasti.

Fajar yang sedang berjalan di belakang ayahnya menoleh.

“Sasti!”

Tapi baik Sasti maupun Fajar masing-masing segera ditarik menjauh. Mereka pun hanya bisa saling memandang dari jauh sampai Fajar dan ayahnya masuk ke mobil dan meluncur pergi.

***

Nada dering khusus panggilan dari Fajar terdengar mengalun. Atas Nama Cinta-nya Rossa. Sasti segera menyahutnya.

“Rupanya mereka punya story di masa lalu, dan meninggalkan kebencian yang tak pupus di makan waktu,” ucap Fajar langsung.

“Ya,” sahut Sasti. “Kau tahu kenapa ibuku menerima perjodohan itu?”

“Kenapa?”

“Karena ayahmu memacari sahabat ibuku.”

“Ayahku bilang itu nggak benar. Waktu itu ibumu emosi, nggak konfirmasi dulu langsung percaya aja omongan orang-orang. Buktinya, ayahku menikahi wanita lain, bukan sahabat ibumu. Fitnah itu sengaja dihembuskan oleh orang-orang yang iri dan ingin memisahkan ibumu dan ayahku.”

“Kalau begitu…ada salah paham. Sebaiknya ini aku jelaskan pada Ibu.”

***

Beberapa jam kemudian.

“Jar, Ibu mengaku sudah tahu lama tentang fitnah itu, tapi Ibu nggak yakin, makanya dia tetap tak mau menerima ayahmu.”

“Atau… dia merasa bersalah karena keburu emosi menerima perjodohan itu?”

“Bisa jadi. Tapi Ibu terlalu angkuh untuk mengakuinya.”

“Dan ayahku pun terlalu angkuh untuk memaafkan.”

“Hmmm… kalau begitu, aku punya akal.”

***

“Udaah… ngapain sedih mikirin laki-laki itu. Masih banyak laki-laki lain dari keturunan baik-baik,” hibur Bu Janna melihat putrinya terus dirundung sedih.

“Sasti bukan mikirin Fajar, Bu. Tapi Pak Hariansyah, ayahnya Fajar.”

“Huh, apa lagi dia! Kenapa sih musti mikirin…”

“Dia sedang koma, Bu. Jantungan.”

“Biar koit aja sekalian.”

“Ibu…”

Bu Janna menarik napas dalam. Lalu beringsut masuk ke kamar.

***

“Ibu nangis?” heran Sasti ketika menyusul masuk ke kamar ibunya.

“Ibu bingung, Sasti. Ibu benci banget pada laki-laki itu, tapi sejak melihatnya lagi kemarin, entah mengapa seperti ada sesuatu dalam diri Ibu yang Ibu nggak ngerti. Dan sekarang laki-laki itu sedang sekarat. Ibu bingung…”

Dalam hati Sasti tersenyum. “Kalau memang Ibu merasa perlu minta maaf dan mau maapin juga, kenapa kita nggak ke tempatnya aja sekarang?”

“Apa itu tidak membuatnya merasa diri benar?”

“Memang dia benar, kan?”

Wanita itu terdiam. “Yah, Ibu yang salah. Waktu itu Ibu keburu emosi.”

“Tapi masih ada waktu kok, Bu.”

“Apa dia mau memaafkan Ibu?”

“Memaafkan sih iya, mungkin. Tapi kalau menerima cinta Ibu lagi seperti dulu, mmmm, nggak janji deh!”

Serta-merta jari-jari keriput wanita itu meluncur ke pinggang Sasti, mencubitnya. Wajah wanita itu tampak bersemu merah.

***

Di rumah sakit.

Derap tapak sepatu terdengar berirama cepat menghampiri sebuah ruang ICU di lantai lima sebuah rumah sakit mewah. Pemiliknya adalah dua orang wanita dengan wajah salah satunya tampak dibalur cemas.

Sementara dari arah berlawanan, terdengar pula derap tapak sepatu berirama tak kalah cepat menuju ruang ICU yang sama. Pemiliknya adalah dua orang pria dengan wajah salah satunya tak kalah cemas.

Mereka bertemu tepat di depan pintu ruang ICU tersebut.

“Janna?”

“Mas Har?”

Keduanya saling berpandangan lama, takjub –antara rasa tak percaya, rasa gemas menyadari telah dikerjain anak mereka, dan rasa rindu yang membuncah di dada– sebelum akhirnya berbaur dalam pelukan.

“Maafkan aku, Mas.”

“Aku juga.”

Hmmm... Itulah mengapa Lebaran selalu indah. Segala benci dan dendam luruh, tergantikan kebahagiaan yang menyatu. Saking larutnya, mereka sampai lupa kalau kedua anak mereka sedang menyaksikan dengan tersenyum-senyum.

“Jadi gimana, Bu, lamaran Fajar diterima dong?” senyum Sasti sambil melirik mesra sang pujaan hati di sampingnya.

“Hmmm,” Bu Janna berlagak mikir-mikir sambil melirik tak kalah mesra pada laki-laki di sampingnya yang balas memandangnya pula dengan mesra. “Kayaknya ntar-ntar dulu deh jawabannya,” ucap wanita itu dengan suara genit.

“Lho, kan tadi udah saling maapan,” protes Fajar.

“Iya, Bu, apa lagi sih yang ditunggu?”sungut Sasti.

“Tunggu sampai ada yang melamar Ibu dulu."

"Ha???”

Ketika Petang Ini Aku Bertemu Janna, CHIC, March 2007

Ketika Petang Ini Aku Bertemu Janna

Cerpen: Sukma Wie


Aku sudah hampir memutar tumit ke arah Metro ketika sebuah pekikan mengerem langkahku tiba-tiba.

“Estheeer…!”

Dan tubuh tinggi semampai itu telah tegak di hadapanku. Tersenyum lebar dengan tangan terbuka. Dan aku nyaris tak percaya dengan penglihatanku.

“Janna?”

Wajah coklat manis itu mengangguk. “Ya, aku Janna. Awas kalau kamu sudah lupa!”

“Astaga, Janna. Bagaimana mungkin kita bisa bertemu di sini?”

“Tapi kita sudah bertemu di sini, kan?”

Dan kami pun berpelukan erat. Sebuah pelukan yang kurasakan ganjil setelah berpuluh-puluh musim.

“Aku benar-benar surprise, Jan,” kataku jujur setelah kami saling melepaskan pelukan. Ya, betapa tidak? Terakhir aku melihatnya masih di kota kecil Bau-bau, Buton pulau penghasil aspal nun jauh di timur sana. Dan sekarang kami bertemu di kota megapolitan ini.

“Kamu pikir aku tidak merasa surprise? Bayangkan, Te, sepuluh tahun? Duapuluh tahun? Dan kamu masih seperti dulu: langsing dan cantik! Apa sih rahasianya?”

“Ah, bisa aja kamu,” kataku agak tersipu, apalagi pada saat ia mengatakan itu beberapa anak muda keren-keren terpancing untuk ikut menyaksikan ‘pertunjukan’ kami. Saat itu kami memang sedang berada di UG Mall Taman Anggrek bagian selatan, tepat di depan elevator Metro. Sebuah tempat yang lumayan ramai lalu lalang. Tapi seperti dulu-dulu, Janna (dan aku) selalu tak ambil pusing sekeliling. Kami terus saja larut dalam ketakterdugaan yang asyik (dan aneh).

“Aku berkata jujur kok,” ucap Janna dengan mimik sungguh-sungguhnya yang khas, “dan tulus.” Ia tersenyum.

Aku ikut tersenyum. “Aku tahu. Tapi aku juga ingin berkata jujur dan tulus kalau kamu tambah cantik dan bikin pangling! Tahu nggak, tadi itu hampir-hampir aku tak kenal kamu.”

“Ah, bisa aja kamu,” kini giliran dialah yang tersipu.

“Eh, cari tempat asyik yuk! Di bawah ada Starbucks,” ajakku kemudian.

“Okey!” sahutnya penuh semangat.

Dan kami pun segera turun sebelum satpam mengusir kami.

***

Sudah berapa lama ya kami tidak berjumpa? Sepuluh tahun? Ah… rasanya lebih. Sejak tamat SMA dan kami melanjutkan kuliah di kota yang berbeda, sejak itu kami tidak pernah lagi berkomunikasi. Janna benar-benar seperti disapu angin. Lenyap begitu saja. Dan baginya aku pun mungkin begitu. Lenyap tak berjejak. Aku (dan mungkin juga ia) kemudian seperti merasa tidak perlu untuk saling mencari tahu kabar masing-masing. Apalagi untuk saling mengingat satu sama lain. Kesibukan baru di lingkungan baru dan kampus baru terasa lebih mengasyikkan. Dan lagi pula, buat apa harus diingat? Tak ada sesuatu yang menarik yang dapat memaksa kami untuk saling mengingat satu sama lain selain persaingan diam-diam dan perang dingin yang terus meronai pertemanan kami!

Aku ingat ketika Janna terpilih jadi bendahara OSIS dan aku cuma wakil sekretaris yang terpaksa harus bersyukur dapat tempat di belakang Murtaba yang terpilih jadi sekretaris. Betapa bangganya ia! Seolah-olah ia baru saja dapat satu skor tambahan setelah beberapa hari lalu ia harus menelan kepahitan karena aku berhasil melampauinya sebagai juara kelas ranking pertama. Berhari-hari ia tunjukkan sikap pongahnya dengan berjual mahal setiap kali aku atau teman-teman pengurus lain butuh duit untuk kegiatan ini-itu. Tapi itu tidak berlangsung lama. Karena beberapa bulan kemudian, namaku kembali berkumandang di lapangan upacara sebagai pemenang sayembara mengarang. Ia kembali gelisah. Tapi kegelisahannya ternyata cuma sebentar. Ketika ada pemilihan utusan Paskibraka yang akan dikirim ke Istana Negara mewakili provinsi, ialah yang terpilih berpasangan dengan Umul yang tingginya memang sepadan. Tapi pada saat yang hampir bersamaan aku juga terpilih jadi finalis Lomba Karya Ilmiah Remaja dan membawa harum nama sekolah ke pentas nasional. Begitu terus. Kami saling bersaing dan tak mau kalah satu sama lain. Menunjukkan kelemahan apalagi kekurangan adalah pantangan besar yang bisa berakibat dosa tujuh turunan. Alhasil, hari-hari kami terus diwarnai ketegangan dan teror perang dingin yang tak habis-habis.

Aku lupa persisnya sejak kapan ajang perang itu digelar. Yang teringat cuma sebuah insiden kecil di ruang laboratorium bahasa. Ya, apa lagi kalau bukan masalah cinta! Ia yang semua orang tahu menyimpan perasaan pada Ekky, tiba-tiba memergokiku sedang berdua cowok itu membahas materi yang baru disampaikan tutor tamu dari luar. Dan aku tidak bisa menolak pesona yang ditebarkan Ekky saat berdekatan. Cowok itu terlalu menarik untuk dihindari. Dan rupanya aku tidak bertepuk sebelah tangan. “Sudah lama aku memperhatikan kamu,” kata Ekky terbuka. “Dan baru sekarang aku bisa dekat-dekat. Kau tahu betapa senangnya aku!” dan selanjutnya tak perlu direka-reka lagi. Karena Ekky benar-benar cowok sejati yang takkan membiarkan cewek yang disukainya lepas dari jangkauannya. Dan tak perlu direka-reka pula apa akibat yang harus kami telan. Janna seperti orang kesurupan melihat kedekatan kami. Hari demi hari kemudian seperti ada peraturan tak tampak yang mengharuskan kami menggelar persaingan diam-diam!

Kupikir, ya, sejak itulah perang dingin itu tergelar hingga… mungkin, hingga kini.

Janna sudah hampir separuh cangkir menyeruput caffe latte-nya. Sedangkan aku lebih banyak menghabiskan cake-nya yang lezat.

“Gimana, udah punya buntut berapa sekarang? Jangan bilang kamu belum kawin-kawin di usiamu setante-tante ini!” tanyanya sambil bergurau.

“Aku?” aku mengangkat wajah dengan perasaan terkejut yang diam-diam kusembunyikan. Harus bagaimanakah kuceritakan padanya? Aku, Esther yang jagoan KIR, jagoan mengarang, jagoan bulutangkis, dan selalu langganan ranking satu di kelas ternyata cuma memiliki lahan yang gersang dan tak bisa ditanami apa-apa? Tujuh tahun Mas Bondan, suamiku bekerja keras banting tulang setiap hari menyirami dengan setia tanaman cinta yang ditanamnya, tapi selalu saja berakhir dengan kesia-siaan. Lahan garapan itu benar-benar tak layak tanam alias tidak subur alias mandul! Tentu saja Mas Bondan kecewa. Siapa sih petani yang tak kecewa kalau setelah mengupayakan segala daya untuk menyuburkan lahan garapannya, ternyata tak membuahkan hasil apa-apa? Boro-boro membayangkan hasil buahnya yang sehat-sehat, ranum dan menggemaskan! Tapi Mas Bondan memang petani yang sabar dan setia…

“Te, kau dengar aku, kan?” Janna menyentuh lenganku karena pertanyaannya belum kujawab.

“Ya, tentu. Masa’ aku belum kawin! Apa aku ada potongan?” kataku tertawa dengan otot punggung yang dingin dan menegang tiba-tiba. “Bahkan sekarang aku sedang bahagia-bahagianya dengan Mas Bondan karena syukur alhamdulillah di usia perkawinan kami yang ketujuh kami sudah dikaruniai tiga malaikat kecil yang lucu-lucu. Mas Bondan memang petani yang tangguh!”

“Masa’?” Janna membelalak girang. “Wah… pasti lucu sekali!”

“Kamu sendiri bagaimana?” ya, aku ingin tahu ‘kehebatan’ perempuan ini. Sudah sejauh mana ia melampauiku dalam sepuluh tahun terakhir ini!

“Aku baru menikah dengan Murtaba tiga tahun lalu, dan kami menetap di Makassar karena Murtaba menjadi dosen di Unhas.”

“Murtaba? Astaga, Murtaba yang sekretaris dan si seksi sibuk itu, kan?”

“Kau pikir ada Murtaba yang lain? Tapi benar lho, dia benar-benar seksi abis,” Janna tak sanggup menyembunyikan rona merah di wajahnya.

“Ah, seperti apa dia sekarang?”

“Kau takkan percaya. Dia sudah bermetamorfosa menjadi pangeran impian ketika kami bertemu pertama kali setelah perpisahan itu. Belakangan aku tahu ternyata ia sibuk menambal sana-sini kekurangannya dengan upaya penuh semangat. Dan hasilnya aku sudah rasakan, memang benar-benar hebat! Bahkan setelah tiga tahun pernikahan kami pun, tubuhnya tetap atletis dan kuat seperti pria-pria Men’s Health. Makanya aku pun tak mau kalah usaha…”

“Pantas kau makin cantik,” kataku jujur.

“Ah, bisa aja kamu,” ia kembali tersipu. “Kamu juga, pasti pria bernama Bondan itu hebat sekali karena telah membuatmu menjaga tubuh tetap seseksi dulu. Atau ini karena pengaruh ‘olahraga’ kalian yang selalu penuh vitalitas dan memuaskan?” ia mengikik geli.

“Ah, bisa aja kamu,” giliran akulah yang tersipu. Tapi kali ini ia tak salah. Aksi-aksi Mas Bondan memang selalu hebat di atas ranjang dan kami selalu merasa puas bersama setelahnya. Sayang… “Ohya, sudah berapa lama kamu tiba di Jakarta?” tiba-tiba aku sadar.

“Baru seminggu.”

“Seminggu? Wah, pasti ada urusan penting sampai selama itu. Murtaba ikut juga?”

“Dia cuma mengantar, lalu balik lagi setelah dua hari.”

“Hati-hati lho di Jakarta kalau kelamaan berjauh-jauhan,” godaku.

“Emang kenapa?”

“Banyak serigala berbulu kucing!”

Kami tertawa bersama.

“Lalu dalam rangka apa berlama-lama di Jakarta?” tanyaku kembali.

“Memangnya tidak boleh aku berlama-lama di ibukota yang aku pun turut membiayai perkembangannya dari pajak yang kusetor setiap tahun?”

“Serius nih, Jan.”

“Oh, aku cuma jalan-jalan kok,” ucapnya sedikit agak kikuk.

“Dan kau meninggalkan pekerjaanmu? Awas jangan bilang Janna yang aktivis itu sekarang menjadi salah satu dari empatpuluh juta orang yang bikin pemerintah pusing putar otak.”

Ia tertawa. “Nggaklah. Aku kerja di trading company, ekspor-impor, dan sekarang ambil cuti. Sebulan.”

“Wow! Tahan kau selama itu jauh dari belaian Murtaba? Atau jangan-jangan malah dia yang nggak tahan lantas….”

“Ih jangan macam-macam kamu! Murtaba bukan tipe pria seperti itu. Lagian dua hari lagi aku sudah balik kok. Aku selalu mikirin tak ada yang bisa mengurus anak-anak sebaik aku.”

“Anak-anak atau bapaknya?” godaku lagi.

“Terlebih bapaknya!”

Kami kembali tertawa bersama.

Tak terasa dua jam lebih kami telah menghabiskan waktu dengan mengobrol. Dan waktu maghrib sebentar lagi tiba. Kami lalu bertukar nomor hp untuk memudahkan komunikasi selanjutnya.

“Boleh ‘kan aku membajak waktumu sebentar-sebentar mumpung aku lagi di sini?” kata Janna sambil berdiri.

Aku tersenyum mengangguk. “Kau tahu, bekerja di advertising seperti bekerja di rumah sendiri. Bebas menentukan kapan kau ingin lepas dari rutinitas, apalagi sekarang ini kantorku sedang mengalami krisis kepercayaan terhadap manajemen. Mungkin sebentar lagi akan ada demo.”

“Lho, kenapa?”

“Skandal di mana-mana!”

Ia tertawa mengerti, lalu kami pun berpisah setelah saling menempelkan pipi di kiri dan kanan.

***

Malam harinya, aku terkejut dan penasaran menerima sms dari Janna. Kamu menang, Te. Kamu bahagia dan sukses.

Lho, apaan nih?

Buru-buru aku meneleponnya. “Ada apa, Jan? Kok kesannya melankolis gitu.”

Tanpa kuduga suara serak Janna yang kudengar. “Maafkan aku, Te. Aku tidak jujur kepadamu. Rupanya hawa perang dingin yang dulu pernah menghinggapi kita masih menerpa. Aku tiba-tiba terdorong untuk tidak terbuka tentang apa yang sedang aku hadapi kini, karena takut akan menjadi rendah dan tak bernilai di matamu.”

Aku tergugu. Jadi dia juga berbohong. Bukan cuma aku! Masya Allah, apa-apaan nih? Kami sudah kepala tiga, tapi sikap kok masih kayak abege-abege kurang kerjaan?

Aku di ambang ragu apakah perlu berterus terang pula tentang kebohonganku atau kusimpan saja biar aku dan Tuhan saja yang tahu. Tapi bagaimana kalau dia tahu bahwa aku pun ternyata tidak lebih baik darinya? Bagaimana pandangannya? Menghinaku? Melecehkanku? Memandangku sebelah mata? Rasanya aku tidak sanggup. Aura masa lalu itu masih kuat mencengkeramku. Tapi… kalau dia saja bisa bersikap jujur, mengapa aku tidak?

“Te… kau masih di situ?” sentaknya tiba-tiba.

“Ya, ya, aku masih mendengarkanmu, Jan.”

“Terus terang, aku ke sini tidak cuma sekadar jalan-jalan. Bahkan Murtaba ikut ambil cuti untuk menemaniku sebulan di Rumah Sakit Dharmais.”

“Memangnya… ada apa?” hatiku mulai dijalari perasaan tak enak.

“Payudaraku, Te…” suara Janna terdengar makin serak dan menjauh.

“Kamu…,” tiba-tiba lidahku kelu, “…kanker?”

“Dan sebentar lagi dadaku akan rata…”

“Oh my God,” begitu saja seruan itu meluncur dari bibirku, nyaris tak percaya. Janna yang cantik. Janna yang berbodi nyaris sempurna. Janna yang periang dan penuh semangat. Janna yang selalu percaya diri dengan segudang prestasi dan aktivitasnya. Sekarang menjelma jadi Janna yang malang dengan dada rata tak ubahnya laki-laki. Bahkan laki-laki atletis saja masih menonjolkan dadanya yang berotot. Berarti kondisi Janna akan lebih mengenaskan dari laki-laki. Padahal siapapun tahu kalau payudara yang menonjol adalah salah satu identitas mutlak seorang perempuan. Tanpa payudara, dibilang apa perempuan itu? “Aku harap kamu bisa tabah menerimanya, Jan.”

“Yah… itulah yang kulakukan setiap detik sekarang ini. Berusaha mengumpulkan remah-remah ketabahan yang berceceran. Aku hampir nggak kuat, Te!”

“Aku yakin kamu kuat. Aku tahu siapa Janna. Seorang perempuan yang tak pernah kenal kata menyerah, bahkan tak pernah mau disaingi.”

“Tapi sekarang aku kalah, Te. Kamu menang….” Suaranya kembali menjauh dan asing.

Ups! Aku baru sadar kalau aku telah kelepasan mengungkit kembali kenangan masa lalu itu di saat sensitif begini. “Maksud aku… sori, Jan. Aku nggak bermaksud….”

“Ya, kalaupun kau bermaksud mengingatkanku akan persaingan kita yang entah kapan akan berakhir, kali ini aku terima dengan besar hati. Karena kenyataannya memang begitu. Aku tidak bisa memungkirinya, aku kalah…”

“Tapi Tuhan Maha Adil, Jan,” tiba-tiba saja aku memutuskan untuk berterus terang pula kepadanya. “Yang kalah bukan cuma kamu. Kita sama-sama jadi pecundang. Tak ada yang menang. Aku… aku juga berbohong padamu….”

“Maksud kamu?”

“Aku belum punya anak. Dan mungkin takkan pernah punya anak,” aku menelan ludah pahit.”Kami sudah berusaha periksa dan berobat ke mana-mana, tapi hasilnya nihil. Tujuh tahun, Jan, bayangkan… tujuh tahun kami pontang-panting dan kami tetap harus menelan kenyataan pahit bahwa memiliki keturunan hanyalah impian belaka. Aku yang mandul,” ucapku berusaha tegar.

“Benarkah?”

“Ya.”

“Kalau begitu aku merasa ikut prihatin. Kasihan kamu…”

“Ya, nasib kita sama, Jan. Cuma beda kasus.”

Sesaat kemudian tak terdengar lagi suara Janna. Dia seperti tenggelam dalam perenungan yang dalam. Merenungi nasib? Menyesalinya? Atau barangkali tenggelam dalam keharuan karena tak menyangka kami memiliki ‘penderitaan’ yang sama? Atau justru sedang menyelami bagaimana rasanya menjadi aku? Bagaimana rasanya menderita dalam kehampaan harapan untuk memiliki sang buah hati sementara berjuta makhluk lain demikian mudahnya membuang-buang persemaian hingga membuahkan banyak hasil yang kemudian kebanyakan ditelantarkan?

Entahlah. Tak ada yang mampu meraba apa yang sedang dipikirkan Janna. Namun kelak, beberapa menit sesudah pembicaraan telepon kami terputus, barulah aku tahu arti dari kebungkaman dan nada suaranya yang sontak berubah tanpa kuduga itu.

Maaf, Esther. Ada perubahan skor. 1-0 untukku. Cerita kanker itu fiksi. Hanya untuk memancing. Ternyata aku masih lebih baik darimu.

Aku benar-benar terkapar membaca sms-nya. Tak menyangka kalau Janna bisa sejahat itu. Kupikir segalanya telah berubah. Kami bukan lagi gadis abege yang senang licik-licikan, senang persaingan-persaingan, senang saling menjatuhkan satu sama lain. Kami sudah terlalu berumur untuk itu. Yang kami inginkan sekarang adalah perdamaian. Tapi ternyata aku keliru. Persaingan diam-diam dan perang dingin di antara kami seolah-olah sudah menjadi takdir yang tak mungkin terhapus. Terus mendidih selamanya.

Karena itu, aku pun tak mau kalah. Kubalas sms-nya dengan penuh dendam. Kau pikir aku begitu bodoh mau berjujur-jujur padamu? Datang saja ke rumahku. Dan lihat betapa bahagianya keluargaku yang lengkap. Bahkan aku lebih kaya dan tak norak sepertimu. Skor 2-1!

Aku puas setelahnya, dan lalu segera menghapus nomornya. No more Janna!