tag:blogger.com,1999:blog-76490790192174929972024-03-05T00:29:56.475-08:00Chicklit Stories by Sukma WieBlog berisi cerpen-cerpen chicklit yang seru dan asyik.Sukma Wiehttp://www.blogger.com/profile/06477265542544056885noreply@blogger.comBlogger8125tag:blogger.com,1999:blog-7649079019217492997.post-36135690536415302412008-01-30T01:11:00.000-08:002008-01-30T01:14:04.622-08:00And the Guy Who Sent A Valentine Bouquet is... CHIC No. 4, Februari 2008<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgGneHMewumKK2-6ENlyqR0WYGTSRRIKNjTKSf02q5hSJ6XYPwTEzCkQGJJMQqp_47WLU5Ty0i1f7Y54eapd4-eokeezi7dreGVx22I-LZ6_hEguIcRLMAAAuWazRO68EkAlwOLl2E6Usb_/s1600-h/sukmawie2.jpg"><img style="margin: 0pt 10px 10px 0pt; float: left; cursor: pointer;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgGneHMewumKK2-6ENlyqR0WYGTSRRIKNjTKSf02q5hSJ6XYPwTEzCkQGJJMQqp_47WLU5Ty0i1f7Y54eapd4-eokeezi7dreGVx22I-LZ6_hEguIcRLMAAAuWazRO68EkAlwOLl2E6Usb_/s200/sukmawie2.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5161194988156231682" border="0" /></a><b><span style="color: rgb(204, 51, 204);">And The Guy Who Sent A Valentine Bouquet Is…</span><o:p></o:p></b><br /><span style="font-weight: bold; color: rgb(153, 51, 153);">Cerpen </span><i><span style="font-weight: bold; color: rgb(153, 51, 153);">Sukma Wie</span><o:p></o:p></i> <p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p><p class="MsoNormal" style="text-indent: 45pt;"><br /></p><p class="MsoNormal" style="text-indent: 45pt;">Audy selalu memberi kejutan di pagi hari. Apakah itu gosip tentang Mr Estes bos kami yang <i>cool</i>, atau sebuah <i>rush job</i> yang harus selesai sebelum pukul 12.00 a.m teng! Dan itu pasti memancing komentar teman-teman seisi kantor dengan nada yang sama seolah-olah sebuah koor paduan suara: “ha??”, “masa’ siiih??”, “ahh…yang bener?!” “Masa si bule gitu?” atau… “duh, mati gue!”, “apa ngga bisa diundur <i>due midnight</i>?”, “bakalan <i>sport</i> jantung gue pagi ini!”, “gile lo Dy, ngerjain orang pagi-pagi!”</p><p class="MsoNormal" style="text-indent: 45pt;">Tapi begitulah. Audy selalu tak mau peduli. Sebagai sekeretaris Mr Estes, katanya ‘dia cuma menjalankan tugas’. Ya, Audy memang sudah terkenal sebagai terminal distribusi tugas-tugas <i>rush job</i> sekaligus gosip center si bos.</p><p class="MsoNormal" style="text-indent: 45pt;">Namun pagi ini kejutannya agak berbeda.</p><p class="MsoNormal" style="text-indent: 45pt;">“Pagi, <st1:place st="on"><st1:city st="on">Chita</st1:city></st1:place>!” sapa Audy seperti biasanya, ramah dan misterius-progresif.</p><p class="MsoNormal" style="text-indent: 45pt;">“Pagi, Dy!” balasku tak kalah ramah. ”eh, si bule udah datang, blom?” sambungku dengan nada dan volume diturunkan 50%.</p><p class="MsoNormal" style="text-indent: 45pt;">“Tenang…si bule blom datang…tapi ada penggantinya,” senyum Audy semakin misterius-progresif.</p><p class="MsoNormal" style="text-indent: 45pt;"><span lang="SV">“Penggantinya? Emang si bule udah ciao?”<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="text-indent: 45pt;"><span lang="SV">”Masih...masih... tapi ini maksud gue bukan pengganti si bule, tapi pengganti gosip tentang si bule.”<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="text-indent: 45pt;"><span lang="SV">”Kejutan atau kutukan?”<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="text-indent: 45pt;"><span lang="SV">”Tergantung cara lo memandangnya...tapi kayaknya lebih deket ke kutukan deh...huehehe...” Audy tertawa ngakak, ”Kutukan manis!” sambungnya seru.<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="text-indent: 45pt;"><span lang="SV">”Ah elo!” aku baru mau beranjak pergi ke mejaku yang berada di ruangan di sebelah ruangan Audy ketika mataku tiba-tiba menangkap benda menarik yang dikeluarkan Audy dari bawah meja. ”Buket dari mana, Dy? Gile, romantis banget! Ada juga yang khilaf mau merhatiin elo hihihi...”<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="text-indent: 45pt;"><span lang="ES">”Ini bukan buat gue, tau...tapi buat elo!”<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="text-indent: 45pt;"><span lang="ES">”Gue??”<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="text-indent: 45pt;"><span lang="ES">“Nih…” Audy menyodorkan buket bunga yang terkemas indah dengan pita pink yang…aduuuuh romantis banget! “…tanpa nama pengirim, tanpa tanda terima, satpam yang bawa kemari…katanya dari seorang cowok…sejak kapan ada cowok yang khilaf merhatiin elo?”<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="text-indent: 45pt;"><span lang="ES">Aku tidak menyimak ucapan dan gurauan Audy. Kepalaku langsung dipenuhi tanda tanya. Siapa yang ‘berani-berani’nya mengirim tanpa mencantumkan nama pengirim dan alamat begini? Pasti kalau bukan teroris, ya manusia <i>gokil</i> yang mau mengerjai aku. Tapi siapa? Hezel yang anak <i>art</i> itu memang suka godain aku, tapi untuk iseng mengirim buket bunga yang (jujur aja menurutku rada-rada norak) seperti ini, kayaknya nggak mungkin deh. Atau Ary yang misterius itu? Atau ini taktik Audy (dan teman-teman) aja yang kurang kerjaan tiba-tiba kesambet pikiran iseng mau mengerjai aku dengan mengarang cerita dikirim sama cowok? (tapi ini bisa aku konfirmasikan ke satpam apa benar). Lantas siapa ya? </span><span lang="FI">Semua berpusaran di benakku dan tak satu pun menyimpulkan kepastian. Agaknya aku harus mencari tahu sendiri siapa pelakunya, atau <i>forget it</i> (toh nggak penting-penting amat). Siapapun pengirimnya, yah.. <i>thank you</i> aja deh. <o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="text-indent: 45pt; text-align: center;" align="center"><span lang="ES">***<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="text-indent: 45pt;"><span lang="ES"><o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="text-indent: 45pt;"><span lang="ES">Valentine. <o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="text-indent: 45pt;"><span lang="ES">Hmmm. Sebuah kata yang manis tapi sekaligus pahit buatku. Manis, karena telah menggoreskan berpuluh musim indah bersama Gibran yang takkan pernah kulupakan. Namun juga pahit, karena di hari istimewa ini pulalah Gibran pergi dari sisiku dengan cara yang amat mengenaskan!<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="text-indent: 45pt;"><span lang="SV">Kenangan itu tak pernah lepas dari ingatanku. Di suatu malam, saat mobil yang dikendarai Gibran menepi di depan sebuah restoran yang akan kami jadikan momen <i>valentine’s date</i>. Ketika Gibran keluar dan berjalan memutari depan mobil untuk membukakanku pintu, mendadak dari arah yang tak terduga melaju sebuah <i>pick-up</i> dalam kecepatan tinggi dan menyerempet tubuh Gibran hingga cowok terkasih itu terlempar beberapa meter membentur trotoar jalan. Refleks aku menjerit, dan seperti ada kekuatan yang membantuku segera keluar dari mobil untuk memburu ke trotoar. Di sana Gibran terkapar berlumuran darah. Aku memeluknya sambil berteriak meminta tolong. Seorang satpam dan beberapa pengunjung restoran ikut berlari mendekat untuk menengok, dan beberapa saat kemudian terdengar suara sirene ambulans mendatangi.<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="text-indent: 45pt;"><span lang="SV">Gibran tak terselamatkan. Tentu saja. Benda tak bernyawa pun akan hancur berkeping bila diserempet dengan kekuatan maha dahsyat seperti itu. Tak henti-hentinya aku mengutuk pengendara <i>pick-up</i> putih yang kabur dan tak bertanggung jawab itu. Apalagi setelah kuketahui polisi ternyata tidak berhasil mengidentifikasi siapa pelaku tabrak lari itu. Dendamku semakin menjadi-jadi. Ingin rasanya aku membalas perbuatannya yang telah merenggut nyawa Gibranku. Berhari-hari aku tenggelam dalam duka yang dalam. Sulit untuk memahami apalagi mempercayainya. Bagaimana mungkin dalam sekejap laki-laki terkasihku itu terenggut di depan mataku, justru di saat kami sedang merayakan sebuah momen spesial yang jutaan pasangan di dunia ini pun sedang merayakannya.<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="text-indent: 45pt;"><span lang="SV">Yani, sahabatku, berkali-kali meyakinkanku bahwa hidup memang tak pernah bisa ditebak arahnya. Karena Sang Pemilik Hidup bisa mengambilnya sewaktu-waktu dengan cara apapun yang Ia kehendaki. Yani terus menabah-nabahkanku dan menguatkanku untuk menerima kenyataan dengan lebih rasional. Yah... Lambat-laun akhirnya aku bisa memahami dan menerima bahwa semua itu kehendak Yang Di Atas. Tapi dendamku tak pernah surut. Aku sulit melupakan kejadian itu, dan terlebih, sulit memaafkan pelakunya. Ingin rasanya aku bertemu dan menggilasnya sampai hancur, seperti ia telah menggilas hancur hati dan masa depanku bersama Gibran.<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="text-indent: 45pt;"><span lang="FI">Ah, Gibranku sayang. Di saat-saat seperti ini aku selalu dipaksa kembali untuk mengenang laki-laki pujaanku itu. Candanya, senyumnya yang hangat, perhatian-perhatiannya yang selalu <i>gentle</i>, semua... Bahkan masih tercium wangi khas Bvlgari Acqua yang selalu meruap dari tubuhnya yang tegap.<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="text-indent: 45pt;"><span lang="FI">”Chita, <i>still working</i>?” tiba-tiba aku dikejutkan oleh Mr Estes yang sudah berdiri di sisiku.<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="text-indent: 45pt;">”<i>Yes, I have to finish a little job</i>.”</p><p class="MsoNormal" style="text-indent: 45pt;">“<i>Ok, see you tomorrow</i>,” Mr Estes sudah hendak berbalik menjauh ketika tiba-tiba tubuhnya membalik kembali. “<i>Happy Valentine</i>, <st1:place st="on"><st1:city st="on">Chita</st1:city></st1:place>,” senyumnya misterius. <span lang="SV">Si Bule ini cukup menarik sebetulnya, sayang demennya sama cewek-cewek <i>high-class</i> sekelas Tamara atau Luna Maya.</span><span lang="FI"><o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="text-indent: 45pt;"><span lang="FI">“<i>Happy Valentine, Mr Estes</i>,” aku membalasnya dengan ramah sambil memandang senyumnya yang menghilang bersama punggungnya.<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="text-indent: 45pt;"><span lang="FI">Kembali aku menekuri monitor di depanku. Sesungguhnya <i>’a little job’ </i>yang aku maksud tak lain adalah <i>’a big thing’</i> yang sedang menetas di alam kenanganku. Monitor di hadapanku hanyalah sebagai pajangan. Sedikitpun tak tersentuh perhatianku.<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="text-indent: 45pt;"><span lang="FI">Ahh...<i>life goes on</i>...aku pun segera men-<i>shut down</i> komputer dan merapikan mejaku. Aku tidak bisa tenggelam terus-menerus dalam kesedihan sementara waktu terus berlari di hadapanku. <i>Forgive and forget</i>, mungkin sebuah ungkapan ampuh yang bisa menyembuhkan. Akan kucoba.<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="text-indent: 45pt;"><span lang="FI">Aku lalu mematikan AC dan lampu ruangan. Di ruangannya Audy sudah lenyap sejak pukul 5 sore tadi. Dia hanya <i>say goodbye</i> sebentar lantas terbang bersama teman-teman cewek lain. Semua ramai membicarakan topik yang sama: Valentine.<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="text-indent: 45pt;"><span lang="FI">Melewati ruangan berikutnya, aku mengintip Ary yang memandangku misterius. Ia adalah <i>Account Manager</i> paling ’tak terjangkau’ di kantorku. Nggak banyak omong. Ia hanya membalas sapaanku singkat dengan senyum terpendek di dunia, lantas membuntutiku dengan matanya yang tajam. Di lobi aku bertemu Hezel. Seperti biasa, ia selalu menggodaku.<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="text-indent: 45pt;"><span lang="FI">”Pasti nungguin aku ya, makanya sengaja pulang telat,” ucapnya dengan senyumnya yang <i>charming</i>. Sebetulnya kalau aku tidak sedang ’terikat’ sama Gibran, sudah lama kubalas sinyal agresif cowok ini. Apanya coba yang kurang pada dia. <i>Charming</i>, kreatif, perhatian, dan dia punya <i>appeal</i> tersendiri yang jarang ada pada pria lain. <o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="text-indent: 45pt;"><span lang="FI">”Kalau iya, kenapa?” balasku menantang.<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="text-indent: 45pt;"><span lang="FI">”Jadi mau nih, pulang bareng?”<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="text-indent: 45pt;"><span lang="FI">”Mau dooong, siapa juga yang nggak mau sama cowok seganteng Hezel.”<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="text-indent: 45pt;"><span lang="FI">Hezel tersenyum sambil menggerakkan tangan ”yess!” di udara beberapa kali.<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="text-indent: 45pt;"><span lang="FI">Aku segera menyambung, ”Tapi barengnya sampe di pintu aja ya.”<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="text-indent: 45pt;"><span lang="FI">”Yaa, Chita...” lenguhnya kecewa.<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="text-indent: 45pt;"><span lang="FI">”Yuk, pulang bareng,” aku mengajak cowok itu yang dengan senang hati menggandeng tanganku sampai pintu. ”Oke, <i>bye</i>...” aku melepaskan genggamannya dan buru-buru mendorong pintu ke luar.<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="text-indent: 45pt;"><span lang="FI">”Chita...” ia masih berdiri penasaran memandangku. ”<i>Happy Valentine</i>...”<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="text-indent: 45pt;"><span lang="FI">Aku cuma menjawabnya dengan senyum sambil mengacungkan jempol. Ia tetap tampak penasaran, seperti sudah merencanakan sesuatu untukku, tapi tak kesampaian. Aku berjalan terus menuju trotoar di depan kantor. Beberapa detik kemudian sebuah taksi berwarna biru mendekat. Aku segera menumpangnya dan meluncur di sela keramaian malam kota. Entah kenapa <i>feel</i>-ku kok di mana-mana seperti serba merah jambu. Ada aura hangat yang menyembul, serasa seisi kota sedang berpesta merayakan <i>Valentine’s Nite</i>. Lampu-lampu reklame seperti menari-nari, bahkan lampu sorot kendaraan tampak berkilau ceria turut menghiasi malam. Terdengar musik romantis, hmmm.. bahkan radio yang diputar sopir taksi pun mendendangkan lagu <i>Valentine</i>-nya Martina McBride.<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="text-indent: 45pt;"><span lang="FI">Tapi lambat-laun, aku merasakan ada suatu keanehan. Sorot lampu dari salah satu kendaraan di belakang taksi terlalu terang dan menyilaukan. Aku menoleh. Sulit melihat jelas siapa, karena terhalang cahaya lampu yang <i>overlighted</i>. Aku menyuruh sopir taksi untuk pindah jalur. Benar, mobil di belakang kami ikut pindah jalur. Hatiku mulai was-was. Apakah mobil di belakang itu sengaja membuntuti atau kebetulan saja?<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="text-indent: 45pt;"><span lang="FI">Akhirnya aku mengambil keputusan mendadak begitu taksi melewati sebuah pusat perbelanjaan yang cukup ramai.<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="text-indent: 45pt;"><span lang="FI">”Pak, stop di sini, Pak.”<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="text-indent: 45pt;"><span lang="FI">”Nggak jadi ke Mampang?”<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="text-indent: 45pt;"><span lang="FI">”Nggak, Pak. Aku mau beli sesuatu.”<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="text-indent: 45pt;"><span lang="FI">Taksi akhirnya berbelok dan berhenti tepat di depan mall. Aku segera turun setelah membayar dan setengah berlari memasuki bangunan penuh cahaya itu. Sempat aku menoleh ke belakang, mobil itu sudah tak kelihatan.<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="text-indent: 45pt;"><span lang="FI">Namun belum sempat aku melangkah lebih ke dalam, tepat di sebuah tikungan yang dibatasi pilar besar, mendadak sesuatu menyentuh lenganku dengan lembut membuat jantungku nyaris melompat.<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="text-indent: 45pt;"><span lang="FI">”Chita?” Sharita tiba-tiba muncul seperti memotong mimpi burukku. ”Mau ke mana? Kok kamu pucat sekali kayak baru ngelihat hantu?”<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="text-indent: 45pt;"><span lang="FI">”Aku... aku... eh, Ta, lagi ngapain?”<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="text-indent: 45pt;"><span lang="FI">”Ya belanja dong...sekalian <i>survey</i> kecil-kecilan...” Sharita adalah karyawan dari divisi <i>strategic planning</i> di <i>agency</i> tempat aku bekerja. Kerjaannya memang melakukan <i>survey</i> konsumen. ”Kamu ngapain?”<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="text-indent: 45pt;"><span lang="FI">”Oh aku juga mo belanja, Ta.”<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="text-indent: 45pt;"><span lang="FI">”Yuk, kalo gitu barengan aja.”<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="text-indent: 45pt;"><span lang="FI">Kami pun berjalan barengan memasuki supermarket, sambil aku diam-diam berusaha menetralisir debar jantungku. Setelah ngobrol sana-ngobrol sini sembari belanja (aku cuma membeli sebuah pembersih wajah untuk <i>stock</i> begitu menyadari sebenarnya aku tidak sedang butuh belanja apa-apa), Sharita mengajak aku pulang bareng dengan mobilnya. Dia akan mengantarku sampai rumah. Tapi ketika tiba di lapangan parkir (atau tepatnya taman terbuka) yang luas, mendadak Sharita seperti diingatkan sesuatu.<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="text-indent: 45pt;"><span lang="FI">”Aduh, aku lupa beli <i>pampers</i>, Chit. Kamu tunggu di mobil aja ya, sebentar kok.”<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="text-indent: 45pt;"><span lang="FI">Aku mengiyakan dengan perasaan tak enak karena sudah merepotkannya. Beberapa saat setelah Sharita menghilang, aku segera melangkah sendiri menuju mobil Sharita yang sudah aku kenal. Namun rupanya aku tak perlu bersusah-payah berjalan jauh, karena di sebuah keremangan lampu yang dinaungi pohon akasia, mendadak sebuah tangan menarikku cukup keras sehingga belum sempat kuteriakkan kata pertolongan, tangannya yang satu sudah membekap mulutku dan setengah menyeret membawaku ke mobil yang terparkir tak jauh dari tempat itu.<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="text-indent: 45pt;"><span lang="FI">”Sebaiknya kau tidak berteriak,” sebuah suara berat mengancamku. ”Karena aku tidak akan mengapa-apakan kamu sepanjang kamu tidak berbuat yang mencurigakan.”<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="text-indent: 45pt;"><span lang="FI">Dalam bekapannya, wajahku mengangguk setuju. Ia lalu melonggarkan bekapannya dan setengah memaksa menyuruhku duduk di jok depan. Setelah menutup pintu, sosok asing itu lalu memutar dan mengambil tempat di depan setir.<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="text-indent: 45pt;"><span lang="FI">”Siapa kau, dan mau kau bawa ke mana aku, apa maumu sebenarnya?” tanyaku beruntun.<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="text-indent: 45pt;"><span lang="FI">Ia hanya melirikku dengan sekilas senyum menyeringai. Astaga, baru kusadari alangkah menariknya wajah ’sang tokoh jahat’ yang barusan membekap dan menculikku dengan paksa ini. Aku makin penasaran. Tapi sikapnya sangat dingin dan cuek.<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="text-indent: 45pt;"><span lang="FI">Ia mulai menyalakan mesin dan menjalankan mobil untuk membawaku entah ke mana.<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="text-indent: 45pt;"><span lang="FI">”Hei, siapa kau dan mau kau bawa ke mana aku?” ahh...sempat terbersit perasaan alangkah beruntungnya aku bertemu dan diculik penjahat terganteng sedunia, tapi pikiran rasional segera menyadarkanku.<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="text-indent: 45pt;"><span lang="FI">”Kau diam saja! Ingat, aku nggak akan ngapa-ngapain kamu selama kamu nggak bikin aku hilang sabar.”<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="text-indent: 45pt;"><span lang="FI">”Hei, gimana mungkin aku nggak bertanya kalau aku nggak kenal kamu dan tiba-tiba...”<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="text-indent: 45pt;"><span lang="FI">”Diaaaaam!!!” bagaikan guntur yang menggelegar suaranya seketika menghentikan seluruh aliran darahku. Kini aku melihat wajahnya pun tegang.<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="text-indent: 45pt;"><span lang="FI">Gugup, aku membuang pandang ke arah jalan dan membiarkannya menyetir tanpa suara. Tapi aku tahu, di balik dadaku, jantung ini mengalahkan debar jantung <i>sprinter</i> tercepat di dunia. Lama terdiam, mataku akhirnya mencuri lirik ke wajahnya. Hmmm, kalau saja dia bukan orang jahat, aku yakin banyak wanita yang bertekuk lutut oleh pesonanya. Aku bahkan hampir tidak bisa membedakan wajah Brad Pitt saat lupa cukuran dengan wajah pria di sampingku ini. Sungguh mempesona dan macho! Tulang rahangnya membentuk garis aristokrat yang kental. Hidungnya mancung kukuh, alisnya lebat dan matanya tajam menghunjam ke depan. Aku memperhatikan otot lengan dan dadanya yang keras. Hei, apakah ilusi pangeran Hollywood benar-benar hadir di depan mata?<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="text-indent: 45pt;"><span lang="FI">Tiba-tiba HP-ku berdering. Aku melirik ke <i>display</i>. <i>Sharita calling</i>.. Aku meliriknya sebentar, dan seperti tahu maksudku, ia segera mengangguk dengan syarat, ”kau tahu apa yang harus kau katakan, jangan macam-macam!”<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="text-indent: 45pt;"><span lang="FI">Aku lalu menjawab panggilan Sharita dan berbohong dengan mengucapkan maaf karena harus terburu-buru pulang. Sharita sempat menanyakan apakah aku baik-baik saja (mungkin ia meraba sebuah getaran tak wajar dalam nada suaraku?), dan aku menjawab <i>I’m fine</i>. Ia lalu <i>say goodbye and take care</i>. Aku kembali melirik si pria asing yang tetap <i>coo</i>l mengendarai mobil. Tiba di sebuah restoran, ia melambatkan mobil untuk mencari parkiran. Aku terkejut. Ini kan...?<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="text-indent: 45pt;"><span lang="FI">”Aku ingin mentraktirmu makan,” ucapnya datar seperti dapat membaca pikiranku.<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="text-indent: 45pt;"><span lang="FI">”Tapi... kenapa di sini?”<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="text-indent: 45pt;"><span lang="FI">”Kenapa? Nggak suka? Aku sudah memesan meja...”<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="text-indent: 45pt;"><span lang="FI">”Kau... siapa kau sebenarnya?” tanyaku akhirnya, nggak tahan.<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="text-indent: 45pt;"><span lang="FI">Ia tersenyum sedikit lebar. Masya Allah, baru lebar sedikit begitu saja senyumnya sudah hampir meruntuhkan langit hatiku. ”Anggaplah aku kencan Valentine misteriusmu,” sahutnya enteng. Ia lalu memutar dan membukakanku pintu mobil. Dengan lembut kemudian diraihnya tanganku dan menuntunku ke dalam. Anehnya, aku menurut saja. Antara rasa takjub, penasaran, takut, dan terbius pesonanya berbaur jadi satu.<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="text-indent: 45pt;"><span lang="FI">Benar saja. Di dalam ia sudah menyiapkan meja di ruangan <i>private</i> yang ditata sangat romantis. Aduh, kalau saja ini bukan perangkap, aku sudah meluapkan perasaanku sedemikian rupa. Wanita mana yang takkan tersanjung dijamu seistimewa ini. Tapi begitulah. Ini ibarat istana di celah lembah sunyi dan terpencil. Kami menikmati santapan tanpa suara. Bahkan ketika ia menghampiriku untuk membantu menuangkan minuman <i>dessert</i> sehingga membuatku dapat mencium aroma maskulin tubuhnya, ia hanya membuatku terpaku tak berkutik di tempat.<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="text-indent: 45pt;"><span lang="FI">Lantas beberapa menit kemudian kami pun kembali ke mobil. Aku merasa agak risih ketika tangannya menggenggam mesra tanganku, apalagi beberapa <i>waitress</i> yang memandangku seperti tak percaya cowok seganteng pria ini mau berjalan bersisian denganku yang... astaga, baru aku sadari betapa lusuhnya aku dengan pakaian kerja. Tiba-tiba aku merasa malu sekali. Tapi apa mau dikata. Aku hanya menuruti saja maunya.<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="text-indent: 45pt;"><span lang="FI">Di dalam mobil, tiba-tiba aku tercenung memandang trotoar di depan. Ia (lagi-lagi) seperti dapat membaca pikiranku.<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="text-indent: 45pt;"><span lang="FI">”Maafkan aku, aku nggak bermaksud...” mendadak suaranya terdengar lembut.<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="text-indent: 45pt;"><span lang="FI">Aku meliriknya dan mengangkat tangan. ”<i>It’s ok</i>. Ini nggak ada hubungannya dengan kamu.”<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="text-indent: 45pt;"><span lang="FI">”<i>Are you sure</i>?”<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="text-indent: 45pt;"><span lang="FI">”<i>Yes, absolutely</i>! Aku punya kenangan pahit di sini, ngngh...pribadi...”<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="text-indent: 45pt;"><span lang="FI">”Gimana kalo ada hubungannya denganku?”<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="text-indent: 45pt;"><span lang="FI">”Maksud kamu?” kini aku memandangnya tak mengerti.<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="text-indent: 45pt;"><span lang="FI">”Chita, maafkan aku. Akulah yang mengirim buket bunga itu. Aku pula yang membuntuti taksimu. Aku...”<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="text-indent: 45pt;"><span lang="FI">”Kau tau namaku??”<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="text-indent: 45pt;"><span lang="FI">Ia mengangguk. ”Aku sepupunya Yani.”<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="text-indent: 45pt;"><span lang="FI">Kini aku makin tercengang. ”Kenapa kau lakukan semua itu?”<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="text-indent: 45pt;"><span lang="FI">”Aku... aku cuma ingin minta maaf.”<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="text-indent: 45pt;"><span lang="FI">”<i>What for</i>?”<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="text-indent: 45pt;"><span lang="FI">”Akulah yang menyerempet pacarmu dua tahun lalu...”<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="text-indent: 45pt;"><span lang="FI">Tiba-tiba saja aku merasa seperti mendengar kabar terburuk sepanjang segala abad. Lama aku ternganga sampai tahu-tahu tanganku sudah bergerak memukul dadanya. ”Kamu!” seruku pedih. ”Kamu telah membunuh orang yang paling aku cintai, kamu telah merenggut masa depanku, kamu telah mengambil semua kebahagiaanku, kamu...” suaraku tersekat di tenggorokan. Terlalu banyak yang ingin aku tumpahkan, yang sudah aku pendam bermusim-musim lamanya, dalam kesedihan, dalam dendam, dalam keputusasaan...dan kini aku menemukan muara yang tepat. Ingin sekali aku membunuh makhluk terkutuk di hadapanku ini, tapi yang aku lakukan hanya menangis. Aku terisak tanpa daya.<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="text-indent: 45pt;"><span lang="FI">”Maafkan aku, Chita. Aku merasa berdosa sekali. Apalagi begitu tahu cerita Yani tentangmu, aku merasa tak tahan menanggung rasa bersalah terus-menerus. Akhirnya sebulan lalu aku putuskan cerita ke Yani dan dia marah besar. Sampai aku katakan ingin meminta maaf langsung kepadamu. Tapi aku punya rencana lain. Aku ingin menuntaskan kebahagian yang tak sempat kau nikmati saat malam valentine itu. Aku ingin memberi kamu <i>surprise</i>, yang aku harap bisa menyenangkan kamu. Aku....”<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="text-indent: 45pt;"><span lang="FI">”Aku nggak mengharapkan semua itu!!” tiba-tiba saja suaraku menggelegar. ”Aku ingin kamu segera menyerahkan diri ke polisi!”<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="text-indent: 45pt;"><span lang="FI">”Aku akan lakukan itu. Tapi aku harus mendapatkan dulu pemberian maafmu,” sekonyong-konyong tangannya meraih kepalaku dan memelukku erat-erat membuatku susah bernapas. Aku tenggelam dalam sesak aroma maskulin dadanya.<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="text-indent: 45pt;"><span lang="FI">”Tidak,” bisikku berkeras. ”Aku nggak akan memaafkanmu, sampai kau mengembalikan kebahagiaan yang sudah terenggut bersama orang yang aku cintai.”<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="text-indent: 45pt;"><span lang="FI">”Chita, <i>please</i>,” ucapnya memohon. ”Aku rela melakukan apa saja agar kau mau memaafkanku.”<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="text-indent: 45pt;"><span lang="FI">”Nggak! Kau harus dihukum mati!”<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="text-indent: 45pt;"><span lang="FI">”Kalau itu bisa membuatmu memaafkanku, aku mau...”<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="text-indent: 45pt;"><span lang="FI">”Kamu? Kamu mau dihukum mati?”<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="text-indent: 45pt;"><span lang="FI">Ia mengangguk. Sedikitpun tak ada keraguan di wajahnya. ”Apapun, asal kau mau memaafkanku.”<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="text-indent: 45pt;"><span lang="FI">”Aku...,” keraguan seketika meruak dari sela hatiku. ”Oke... aku memaafkanmu, tapi dengan satu syarat...”<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="text-indent: 45pt;"><span lang="FI">Ia menjauhkan wajahku sebentar. ”Apa?”<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="text-indent: 45pt;"><span lang="FI">”Malam ini juga kau harus serahkan diri ke polisi.”<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="text-indent: 45pt;"><span lang="FI">Ia kembali memelukku erat. ”Oh, terimakasih, Chita. Sekarang bebanku mulai berkurang. Aku akan segera menyerahkan diri...”<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="text-indent: 45pt;"><span lang="FI">”Oke, oke, tapi lepaskan aku.”<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="text-indent: 45pt;"><span lang="FI">”Oh, maaf,” ia segera mengembalikan wajahku ke letak semula dengan hati-hati sekali. <i>He’s so sweet</i>.<span style="font-size:0;"> </span>”Aku... aku juga minta maaf telah membuatmu takut tadi...”<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="text-indent: 45pt;"><span lang="FI">Aku mengangkat dagu. ”Asal kau segera mengantarkan aku pulang, maafmu kuterima.”<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="text-indent: 45pt;"><span lang="FI">”Oke, bos!” Ia segera menghidupkan mesin.<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="text-indent: 45pt;"><span lang="FI">Dalam perjalanan kami lebih banyak terdiam. Tapi aku tahu, matanya sesekali melirikku (karena aku pun diam-diam meliriknya). Entahlah, perasaanku tiba-tiba gelisah. Aku tahu beberapa menit lagi ia akan segera ke kantor polisi untuk menyerahkan diri. Tapi sikapnya yang penuh perhatian dan pengakuannya yang tulus dan berani itu seperti menumbuhkan sesuatu yang tidak aku mengerti dalam diriku. <o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="text-indent: 45pt;"><span lang="FI">Ia mengantarku sampai di depan pintu rumah. Dan ketika punggungnya menjauh, aku merasakan sepotong hatiku pun gugur <span style="font-size:100%;">dan lepas.<o:p></o:p></span></span></p><p class="MsoNormal" style="text-indent: 45pt;"><span style="font-size:100%;"><span lang="FI">”Aku belum tahu namamu,” ucapku sedikit panik seperti akan kehilangan sesuatu.</span></span></p><p class="MsoNormal" style="text-indent: 45pt;"><span style="font-size:100%;"><span lang="FI">Ia membalik dan tersenyum, senyum yang pasti membuat banyak wanita bertekuk lutut. ”Panggil aku Reza.” Dan tubuhnya pun menghilang dalam malam.</span></span></p>Sukma Wiehttp://www.blogger.com/profile/06477265542544056885noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-7649079019217492997.post-59856553495821189952008-01-10T23:28:00.000-08:002008-01-22T04:21:42.311-08:00Kemerdekaan Hati, CHIC<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhI14gkNAZ541Piw8EcJ8NpAVqt5hYnG5fiWQECSL7FnjElCBQBvMiYlpGE3oA2eZQsZdiS-npzTeQbzVd022d-amfvCEfHQcdFOn1wK5U22ym_ORAOO9Wckxz4Fn4I4yCKkSpoucdz6oxt/s1600-h/71197028.jpg"><img id="BLOGGER_PHOTO_ID_5154118639738317330" style="margin: 0px 10px 10px 0px; float: left;" alt="" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhI14gkNAZ541Piw8EcJ8NpAVqt5hYnG5fiWQECSL7FnjElCBQBvMiYlpGE3oA2eZQsZdiS-npzTeQbzVd022d-amfvCEfHQcdFOn1wK5U22ym_ORAOO9Wckxz4Fn4I4yCKkSpoucdz6oxt/s200/71197028.jpg" border="0" /></a><span style="font-size:130%;"><span style="color: rgb(255, 102, 0);"><em><strong>Kemerdekaan Hati</strong></em></span><br /></span><span style="color: rgb(255, 0, 0);">Cerpen <em>Sukma Wie</em></span><br /><br /><br /> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt; line-height: 150%;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif";"><o:p> </o:p><br />Aku sudah capek hidup dengan Mas Danang. Ia tak pernah mau mengerti perasaanku, kesulitanku, apalagi posisiku sebagai istri yang setiap hari mengurusi rumah dan seisinya.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt; line-height: 150%;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif";">Ia enak. Pulang kerja, semua sudah tersedia. Makanan hangat, handuk empuk, dan tempat tidur yang nyaman. Semua kusiapkan dengan penuh cinta. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt; line-height: 150%;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif";">Aku selalu berdebar menunggunya setiap petang tiba. Seolah-olah sedang menunggu diapeli kekasih di malam minggu. Dan kenyataannya memang begitulah yang kurasakan. Di ujung setiap hari kerja aku selalu menunggu Mas Danang mengapeliku. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt; line-height: 150%;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif";">Selalu kubayangkan wajahnya yang tampan walau terlihat agak lelah. Rambutnya yang di waktu pagi tersisir rapi, pulang sore tampak sedikit acak, membuatnya kelihatan begitu seksi dan menggoda. Dasinya dibiarkan longgar, dan bau tubuhnya yang masih menyisakan wangi parfum pagi –pada sore hari tercium lebih menggairahkan karena sudah tercampur sedikit peluh, membuatku kangen dan bersemangat setiap kali menyambut Mas Danang pulang. Apalagi kalau pulang-pulang mata dan tangannya yang nakal merayuku, sungguh segala kejenuhanku menunggu seharian di rumah jadi lepas terbang. Itu pula alasan mengapa aku pasrah dan terima saja ketika Mas Danang melarangku kerja untuk sementara waktu.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt; line-height: 150%;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif";">“Aku takut begitu aku pulang aku tidak menemukan wajah istriku yang cantik dan selalu membuatku merasa segar,” kata Mas Danang genit, memberi alasan.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt; line-height: 150%;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif";">“Memangnya aku bonekamu?”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt; line-height: 150%;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif";">“Apa salahnya kalau kuanggap begitu? Kau adalah bonekaku yang cantik dan seksi. Aku bersyukur punya boneka seperti kamu,” lalu tawa Mas Danang membuncah renyah menggelitiki kupingku.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt; line-height: 150%;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif";">Aku langsung bergelung manja dalam pelukannya. Dan aku merasa tidak ingin keluar selama-lamanya. Karena aku tahu, dalam pelukan Mas Danang aku mendapatkan seluruh kebutuhan emosiku terpenuhi. Rasa aman, rasa cinta, rasa dimiliki, rasa setia, rasa bahagia… <span style=""> </span><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: center; line-height: 150%;" align="center"><span style="font-family: "Arial","sans-serif";">***<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="line-height: 150%;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif";"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt; line-height: 150%;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif";">Tapi sekarang aku benar-benar kesal sama Mas Danang. Entah mengapa, pada suatu sore tiba-tiba ia merasa banyak yang kurang. Masakan yang kurang garam, aku yang katanya kurang wangi, tempat tidur yang katanya kurang rapi, kamar mandi yang katanya kurang bersih, sampai hari-hari berikutnya menyusul: kurang rapi lipatan kemejanya, aku yang katanya kurang dandan, kurang cantik, dan terakhir yang membuatku terhenyak: rumah kurang ramai!<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt; line-height: 150%;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif";">Inilah yang kutakutkan. Sudah <st1:place st="on"><st1:city st="on">lima</st1:City></st1:place> tahun kami menikah, tapi belum sekejap pun kami diizinkan Tuhan untuk mencicipi cericit tangis sesosok bayi. Padahal kami sudah berusaha semampu kami. Mulai dari periksa medis yang menunjukkan kami sama-sama sehat dan normal, hingga mencoba pengobatan alternatif. Tapi hasilnya selalu nihil. Kami memang nyaris putus asa, tapi kami selalu menyiasatinya dengan bersikap romantis setiap hari di rumah. Itu setidaknya bisa mengenyahkan pikiran –terutama Mas Danang dari hasrat tak sabar untuk segera memiliki anak.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt; line-height: 150%;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif";">Dan sekarang Mas Danang ingin kembali mengangkatnya ke permukaan?<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt; line-height: 150%;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif";">Terus terang, aku tidak bisa tenteram. Kalau sekadar kurang sempurna keadaan di dalam rumah atau penampilanku, aku masih bisa mencuekkannya. Tapi kalau kurang bahagia karena kurang ramai disebabkan tak ada celoteh riang sang buah hati, aku sungguh tidak bisa mengenyahkannya dari benakku. Aku begitu kuatir, ini bisa menjadi penyebab cinta Mas Danang menyusut kepadaku. Biar bagaimanapun, kenyataan dan sejarah membuktikan bahwa wanitalah yang senantiasa menjadi kambing hitam masalah kesulitan mendapat anak, atau paling tidak, wanitalah yang merasa paling menderita dan terbebani rasa was-was. Dan inilah yang menimpaku kini.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt; line-height: 150%;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif";">Makin lama Mas Danang makin menjadi-jadi. Dan makin lama aku makin tidak tahan. Makin lama aku makin capek. Pertengkaran pun tak terelakkan. Sekuat daya aku berusaha menahan agar airmataku tidak keluar agar aku tidak tampak lemah di mata Mas Danang, tapi selalu saja gagal. Hingga suatu ketika, aku dihempaskan oleh suatu kenyataan pahit yang membuat duniaku seakan runtuh berkeping-keping.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt; line-height: 150%;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif";">Secara tak sengaja aku membaca SMS yang masuk di handphone Mas Danang yang hari itu entah mengapa terlupa di atas wastafel kamar mandi. <i style="">From Keyren</i>. Siapa Keyren? <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt; line-height: 150%;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif";">Aku mengernyitkan kening mengingat nama-nama teman sekantor Mas Danang yang pernah ia sebutkan, tapi rasanya aku tidak mengenalnya. Pesan di display berbunyi: “<i style="">Ntar mlm di zanzi. Jam 7. Ok?</i>” <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt; line-height: 150%;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif";">Buru-buru aku meletakkan kembali di tempatnya ketika kudengar suara mobil masuk garasi. Mas Danang pasti baru mengingatnya. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt; line-height: 150%;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif";">Berlagak tidak tahu apa-apa, aku mengasyikkan diri di dapur dengan setumpuk bumbu dan bahan. Tanpa sapa tanpa suara, bayangan mas danang tampak melesat ke toilet lalu balik lagi ke luar. Dan sesaat kemudian terdengar suara mobil meraung pergi. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt; line-height: 150%;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif";">Aku sibuk merencanakan sesuatu. Pukul 6.45 malam aku sudah duduk anteng di salah satu sudut tersembunyi di <st1:place st="on"><st1:city st="on">Zanzibar</st1:City></st1:place>. Benar saja, beberapa menit kemudian kulihat bayangan Mas Danang bersama seorang gadis manis yang bergelayut manja di lengannya. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt; line-height: 150%;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif";">Mereka mengambil duduk di sudut yang jauh. Aku tak perlu terlalu lama melihat adegan mesra mereka, karena dadaku sudah hampir terbakar habis. Cepat-cepat aku membayar <i style="">bill</i>-nya dan menyelinap ke luar tanpa mencolok. Keputusanku sudah bulat: cerai.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: center; line-height: 150%;" align="center"><span style="font-family: "Arial","sans-serif";">***<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="line-height: 150%;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif";"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt; line-height: 150%;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif";">“Cerai?”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt; line-height: 150%;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif";">“Ya, aku sudah tidak tahan lagi dengan kelakuan Mas Danang. Kalau aku tetap bertahan, bisa-bisa aku bunuh diri!”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt; line-height: 150%;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif";">“Tapi pikirkanlah dulu.”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt; line-height: 150%;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif";">“Tidak. Aku sudah tak tahan.”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt; line-height: 150%;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif";">“Bagaimana kau tahu itu pacarnya? Bisa saja itu salah seorang kliennya.”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt; line-height: 150%;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif";">“Dengan <st1:place st="on"><st1:city st="on">gaya</st1:City></st1:place> menggayut manja dan peluk-pelukan?”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt; line-height: 150%;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif";">“Masa iya sih Mas Danang gitu?”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt; line-height: 150%;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif";">“Kamu nggak liat sendiri sih. Kalo liat pasti kebakar.”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt; line-height: 150%;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif";">“Tapi ada baiknya kamu konfirmasi dulu, Ir.”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt; line-height: 150%;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif";">“Cukup. Bagiku sudah cukup alasan untuk minta cerai. Sikap anehnya yang tidak menghargaiku belakangan ini, jarak yang sudah kami buat sekian lama, untuk apa lagi sih dipertahankan? Aku bahkan ingin cepat-cepat mengakhiri.”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt; line-height: 150%;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif";">“Ir,” Evelyn, kakakku yang tertua itu tiba-tiba mengubah suaranya lebih serius. “Coba renungkan, apa benar kamu sudah tidak mencintai suamimu?”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt; line-height: 150%;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif";">Aku terdiam. Sekelebat terbayang masa-masa manis di awal pernikahan kami. Bahkan <st1:place st="on"><st1:city st="on">lima</st1:City></st1:place> tahun sebelum enam bulan terakhir yang penuh horor, kemanisan itu masih kami kecap. Mas Danang yang nakal tapi lembut, tatapan dan senyumnya yang selalu menggoda, ucapan-ucapannya yang menggelitik, wangi khas tubuhnya yang membuatku kangen… sekelebat! Tapi sekelebat kemudian adalah Mas Danang yang kejam: dengan segala <i style="">complain</i>-nya, dengan segala sikap dinginnya, dengan segala kata-kata sinisnya, dengan… selingkuhnya! Tuhan, haruskah aku bertahan dengan keadaan semengerikan itu?<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt; line-height: 150%;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif";">“Tidak,” kataku akhirnya. “Tidak ada alasan bagiku untuk mencintainya lagi.”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt; line-height: 150%;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif";">“Tapi cinta tidak perlu alasan, Irna.”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt; line-height: 150%;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif";">“Tapi ikatan perkawinan selalu butuh alasan. Dan kalau alasan untuk bersama itu sudah lenyap, untuk apa lagi dipertahankan?”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt; line-height: 150%;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif";">Evelyn akhirnya cuma menarik napas dan mengangkat bahu. “Mau aku atau kamu sendiri yang ngomong sama Bapak dan Ibu?”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt; line-height: 150%;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif";">“Biar aku sendiri.”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt; line-height: 150%;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif";">“Mereka pasti sedih.”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: center; line-height: 150%;" align="center"><span style="font-family: "Arial","sans-serif";">***<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt; line-height: 150%;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif";"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt; line-height: 150%;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif";">Kesedihan memang memayungi ruang pengadilan cerai siang itu. Tapi hanya beberapa saat. Karena beberapa saat kemudian, setelah hakim memutuskan, kelegaan luar biasa yang kurasakan.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt; line-height: 150%;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif";">Aku melirik Mas Danang. Entah pura-pura atau sungguhan, ia tampak tercenung lama dan seperti orang bingung. Waktu pertama kali kuutarakan maksudku minta cerai dengan segala alasan yang logis, ia memang berusaha membela diri. Memintaku mencoba mengerti dia (hmmm…<i style="">emotional blackmail</i>), tapi aku sudah tidak mau mendengar. Berapa lama coba aku telah bersabar diri untuk memahami dia? Kalau dia bersikap lemah terus dan seolah tak bertanggung jawab begitu, lama-lama kekaguman yang pernah singgah di hatiku dulu bisa terhapus habis. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt; line-height: 150%;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif";">Aku harus punya sikap. Aku harus berani menunjukkan bahwa aku tidak bisa terus-menerus dijajah oleh laki-laki itu. Aku bukan wanita yang rela hidupnya terbelenggu dan hanya berangan-angan tentang suatu kebebasan. Cukup sudah penderitaanku. Kini aku ingin merasakan kemerdekaan hati yang sebenarnya. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-right: -18pt; text-indent: 36pt; line-height: 150%;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif";">Di ujung <st1:place st="on"><st1:city st="on">sana</st1:City></st1:place>, aku tahu, seseorang sudah menunggunya untuk menghidangkan kebahagiaan yang diharapkannya. Di ujung lain, aku berharap kebahagiaan baru sudah menungguku pula. Semoga. <span style=""></span>****<o:p></o:p></span></p>Sukma Wiehttp://www.blogger.com/profile/06477265542544056885noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-7649079019217492997.post-42731650315450856142008-01-10T23:16:00.000-08:002008-01-22T04:16:11.617-08:00Joylicious, CHIC<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjS-NG3sO02onWmxLoWbs1jIN96SrWINpejLdHLNRr_B0N95Yw6XuZERXcXtCJbM289y3uBJOuaK4k0O3PYAwOvKH59p173BmxOj9Pu42_yVBkmJOCt2HKOgtN7qE3z25NbUA_MevEyRNGz/s1600-h/71759681.jpg"><img id="BLOGGER_PHOTO_ID_5154114980426181074" style="margin: 0px 10px 10px 0px; float: left;" alt="" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjS-NG3sO02onWmxLoWbs1jIN96SrWINpejLdHLNRr_B0N95Yw6XuZERXcXtCJbM289y3uBJOuaK4k0O3PYAwOvKH59p173BmxOj9Pu42_yVBkmJOCt2HKOgtN7qE3z25NbUA_MevEyRNGz/s200/71759681.jpg" border="0" /></a> <span style="color: rgb(0, 0, 0);font-size:180%;" ><strong>Joylicious</strong></span><br /><span style="color: rgb(255, 204, 51); font-weight: bold;">Cerpen: <em>Sukma Wie</em></span><br /><br /><br /> <p class="MsoNormal" style="line-height: 200%;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif";"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-right: -34.55pt; text-indent: 36pt; line-height: 200%;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif";">Aku bertemu Joy pertama kali duapuluh bulan yang lalu. Waktu itu aku sedang iseng main ke Pasaraya Grande dan nyantai sebentar di sebuah kafe di lantai tiga. Seperti biasa, aku tidak pernah melewatkan pemandangan yang ‘indah-indah’ dari balik Donna Karan-ku. Aku duduk sendiri sambil sesekali menyeruput caffe latte yang tersaji di depanku. Begitu banyak lajang-lajang (atau tampaknya lajang?) yang berkeliaran memamerkan <st1:place st="on"><st1:city st="on">gaya</st1:City></st1:place> dan bodinya di depan mata. Tapi lebih banyak lagi yang lalu-lalang dengan pasangannya masing-masing yang bergayut manja di lengannya. Mungkin istrinya, kekasihnya, atau mungkin pula selingkuhannya. Aku tidak begitu tertarik untuk membahasnya lebih jauh.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt; line-height: 200%;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif";">Yang lebih mengganggu perhatianku, ketika tiba-tiba aku menyadari sedang diperhatikan dari jarak yang tak begitu jauh. Aku menoleh dan, olala… sepasang mata hitam nan tajam sedang menatapku kemudian tersenyum begitu tahu aku meliriknya. Agak kikuk, aku coba membalas senyumnya. Dan tanpa kusangka tiba-tiba ia sudah bergerak menuju ke arahku.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt; line-height: 200%;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif";">“Sendiri, Mbak?” tanyanya langsung, nyaris menyerupai bisikan.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt; line-height: 200%;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif";">“Oh… ya, sendiri,” jawabku sekenanya.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt; line-height: 200%;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif";">“Boleh aku duduk di sini?”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt; line-height: 200%;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif";">“Oh, silakan.”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt; line-height: 200%;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif";">Ia lalu menarik kursi dan duduk tepat di hadapanku. Sesaat kemudian seorang waiter menghampiri dan ia memesan sesuatu. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt; line-height: 200%;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif";">“Kamu…,” aku mengedarkan lirikan ke mejanya semula, “… sendiri juga?”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt; line-height: 200%;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif";">“Tadi bareng teman-teman… ng… fitness di atas, tapi mereka sudah pergi. Sebagian dijemput pacarnya.”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt; line-height: 200%;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif";">“Kamu sendiri… belum punya pacar?”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt; line-height: 200%;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif";">“Ah… Mbak bisa aja. Apa ada potongan?”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt; line-height: 200%;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif";">Aku tersenyum. Kuperhatikan lebih seksama wajahnya. Gile ni anak, batinku. Cakep banget! Potongan kayak begini seharusnya punya seribu pacar. Lihatlah matanya yang hitam dan terang. Alisnya yang rimbun, seperti payung teduh yang menaungi ketajaman sorot matanya itu. Bibirnya… duh, padat berisi dan segar pula. Raut rahangnya begitu kentara, membuat dia tampak bagai dewa-dewa <st1:place st="on">Hollywood</st1:place> yang macho dan menggairahkan. Hidungnya yang tinggi dan mancung, otot yang bersembunyi di balik kausnya yang sedikit basah oleh keringat itu, tiba-tiba saja membuatku….<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt; line-height: 200%;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif";">“Teman-teman biasa manggil aku Joy,” tiba-tiba tangannya sudah terjulur di depan wajahku.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt; line-height: 200%;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif";">Aku segera menyambutnya dengan lembut, “Mirna.”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt; line-height: 200%;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif";">“Waaw… nama yang cantik, secantik orangnya!” serunya spontan.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt; line-height: 200%;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif";">Aku agak tersipu dipuji begitu. Padahal tentu saja dia bukan lelaki pertama yang memujiku. Ah, jadi ingat Mas Rige. Laki-laki itu pun suka memuji dan merayuku dengan romantis sebelum kami melakukannya. Tapi itu dulu, dulu sekali di masa-masa awal perkawinan kami. Kini… ah! Kutepis jauh-jauh bayangan lelaki itu dari benakku.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt; line-height: 200%;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif";">“Ng… Ke sini lagi mo belanja ya?” tanyanya hati-hati.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt; line-height: 200%;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif";">“Oh nggak. Iseng aja, daripada sepi di rumah.” Aku menaksir usianya mungkin duapuluhan, melihat ototnya yang tampak padat berisi dan lengannya yang agak berbulu. Anak kuliahan mungkin, atau karyawan yang baru kerja.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt; line-height: 200%;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif";">“Kalo gitu, boleh aku temani?” sinar keramahan belum juga sirna dari wajahnya. Terus berpijar, membuatnya tampak begitu menarik.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt; line-height: 200%;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif";">“Oh, boleh,” sahutku segera. “Tapi… apa kamu tidak… kuliah atau kerja?”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt; line-height: 200%;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif";">Ia tersenyum. “Aku masih sekolah. Dan aku masuknya pagi. Sekarang ‘<st1:state st="on">kan</st1:State> udah jam <st1:place st="on"><st1:city st="on">lima</st1:City></st1:place>.”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt; line-height: 200%;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif";">Ha? Aku nyaris tak percaya dengan pendengaranku. Masih sekolah? Segede dan sematang ini? Apa nggak salah? Tapi aku berusaha menetralisir gemuruh yang mengguncang dadaku.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt; line-height: 200%;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif";">“Wah… kalau begitu kebetulan dong. Aku lagi butuh temen, dan kamu lagi bebas.”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt; line-height: 200%;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif";">“Ini namanya jodoh!” ia tertawa memamerkan giginya yang rapi dan kokoh.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt; line-height: 200%;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif";">Aku ikut tertawa. Dan beberapa detik kemudian kami sudah turun lalu meluncur pelan dalam mobil yang kukendarai.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt; line-height: 200%;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif";">“Enaknya ngapain ya?” tanyaku begitu melewati Sudirman yang padat.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt; line-height: 200%;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif";">“Aku sih terserah, gimana asyiknya aja.”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt; line-height: 200%;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif";">“Oh ya, gimana kalo kita ke diskotek?”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt; line-height: 200%;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif";">“Boleh.”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt; line-height: 200%;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif";">Tapi tiba-tiba aku membayangkan banyaknya gadis-gadis cantik di <st1:place st="on"><st1:city st="on">sana</st1:City></st1:place>, bisa-bisa… “Ah, nggak. Kurang asyik! Gimana kalo bilyar?”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt; line-height: 200%;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif";">“Boleh juga tuh.”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt; line-height: 200%;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif";">Tapi di <st1:place st="on"><st1:city st="on">sana</st1:City></st1:place> juga nggak sedikit cewek-cewek genit. “Ah, kurang asyik! Kalo bowling? Ah, nggak… aduh gimana ya? <st1:place st="on"><st1:city st="on">Ada</st1:City></st1:place> usul nggak?”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt; line-height: 200%;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif";">“Kenapa nggak <i style="">candle light dinner</i> aja di rumah. Kita mesen makanan, dan….” Kami saling melirik. Aduh, matanya! Badanku rasanya langsung meleleh. Tahu-tahu tanpa kuduga tangannya yang kukuh dan muda itu sudah menangkap dan meremas tangan kiriku. Aku semakin meleleh.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt; line-height: 200%;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif";">“Aku… kupikir… itu ide yang bagus,” ucapku terbata sambil menelan ludah.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt; line-height: 200%;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif";">Mobil pun kubelokkan ke arah selatan, menuju puri cintaku yang sehari-harinya selalu sunyi. Dan malam itu, kami benar-benar melakukannya. Ia yang masih muda dan kuat, ternyata begitu lihai membangkitkan gairahku. <i style="">He’s so delicious</i>! Kini aku hidup kembali.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt; line-height: 200%;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif";"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: center; text-indent: 36pt; line-height: 200%;" align="center"><span style="font-family: "Arial","sans-serif";">***<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt; line-height: 200%;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif";">“Gila lu, Mir!” Bertha, sahabatku di kantor yang sehari-hari menjadi bawahanku memekik tak percaya begitu kuceritakan padanya tentang Joy. “Anak ingusan gitu lu embat juga?”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt; line-height: 200%;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif";">“Dianya yang mancing, dianya yang mau, dianya yang inisiatif, aku sih pasrah aja!”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt; line-height: 200%;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif";">“Itu sih namanya pasrah membawa nikmat. Pasti lu godain dia!”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt; line-height: 200%;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif";">“Enak aja! Dia yang godain, dia juga yang membuatku melayang!”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-right: -34.55pt; text-indent: 36pt; line-height: 200%;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif";">Tampak wajah Bertha memelas kepingin ketika kusebutkan kata ‘melayang’. Aku tahu dia pun setali tiga uang denganku. Sejak ia menikah dengan laki-laki yang lebih pantas jadi kakeknya, ia selalu punya hasrat yang tak terkendali setiap kali melihat lajang-lajang muda yang masih segar. Katanya, suaminya tak pernah memuaskannya. Selalu berhenti sebelum selesai. Tenaganya pun di bawah standar, bahkan jauuuuh di bawah anak-anak muda yang kerap dikencaninya. Iya-lah… namanya juga orang tua! Tapi itulah nasibnya. Ia harus menerima lamaran laki-laki itu untuk menebus utang orangtuanya yang menumpuk.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-right: -34.55pt; text-indent: 36pt; line-height: 200%;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif";">Awal-awalnya ia sempat stres, sama sepertiku ketika Mas Rige pertama kali berlayar lama dan jauh. Tapi lama-kelamaan jadi biasa, bahkan menyenangkan. Tentu saja karena kami sudah menemukan solusinya. Ya, anak-anak muda itu! Mereka kalau tidak dibayar, ya diseneng-senengin aja hidupnya! Pasti mau melakukan apa saja yang diminta. Bagi aku dan Bertha, soal materi <i style="">no problem</i>. Suami kami lebih dari cukup melimpahi kami dengan tumpukan harta. Tapi tidak dengan tumpukan kebahagiaan. Karena itu kebahagiaan harus kami kejar sendiri. Untunglah aku masih bisa menyibukkan diri dengan membuka <i style="">advertising agency</i> dari modal sendiri. Jadi masih ada kegiatan lain yang bermanfaat, tapi Bertha? <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-right: -34.55pt; text-indent: 36pt; line-height: 200%;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif";">Karena kasihan, aku pun memanggilnya untuk bergabung denganku, bantu-bantu menangani klien yang semakin lama semakin membanjir. Tentu saja ia senang. Karena tak jarang pula ia menemukan klien-klien muda dan segar yang sekalian bisa diajak kencan. Tapi untuk anak sekolahan yang menurutnya ‘masih ingusan’ (aku ragu apakah Joy pantas masuk kategori itu karena ia begitu matang dan berpengalaman), baru kali inilah aku alami. Dan bagi Bertha itu sesuatu yang <i style="">amazing</i>. Aku tahu sebetulnya diam-diam dia iri mendengar ceritaku tentang kehebatan Joy, makanya ia selalu memekik tak percaya lalu nelangsa.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt; line-height: 200%;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif";">Aku tersenyum geli dan menghalau pandangan nelangsanya. “Udah ah, kalau kamu mau, aku bisa kenalin. Moga-moga dia pun nggak nolak.”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt; line-height: 200%;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif";">“Aku lagi mikir, kenapa juga anak semuda itu mau-maunya jadi…”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt; line-height: 200%;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif";">“Eit, belom tentu! Bisa aja karena libidonya emang gede dari sononya, jadi ya begitu kenal sama orang-orang seperti kita, gayung bersambut! Buktinya dia nggak minta macam-macam, nggak mau dibayar, nggak mau dikasih apa-apa. <i style="">Just have fun</i>!”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt; line-height: 200%;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif";">Saat itu kami ngerumpi di sebuah pojok kafe hotel yang agak sepi, jadi bebas dari kupingan anak-anak kantor. Kami bebas berhaha-hihi, kami bebas ngomong yang ‘serem-serem’ untuk mengekspresikan pengalaman seksual kami, kami bebas larak-lirik cowok-cowok keren yang lewat satu-satu dan membayangkan apa yang terjadi selanjutnya bila kami berkenalan dengan mereka siang itu. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt; line-height: 200%;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif";">Sebetulnya di kantor pun banyak yang masuk kriteria, terutama di divisi kreatif. Di <st1:place st="on"><st1:city st="on">sana</st1:City></st1:place> kebanyakan sarang anak muda macho yang penuh semangat dengan ide-ide liarnya. Tak heran kalau lembur bareng, di kepalaku suka timbul pikiran yang macem-macem. Tapi aku dan Bertha punya aturan main yang ketat: tidak boleh mengencani karyawan di kantor! Itulah sebabnya kami lebih banyak <i style="">have fun</i> di luaran. Gosip sih pasti ada. Tapi kami sudah tak mau ambil pusing, sampai gosip itu lenyap sendiri. Yah… beginilah nasib istri-istri kesepian yang haus kasih sayang.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt; line-height: 200%;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif";">“Eh… lu <st1:place st="on"><st1:state st="on">kan</st1:State></st1:place> ada <i style="">meeting</i> sama Pak Lukas siang ini. Siap-siap gih!” ucap Bertha tiba-tiba menyentakku.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt; line-height: 200%;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif";">“Oh iya, hampir lupa.” Kami pun berdiri lalu berbarengan meninggalkan tempat itu.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: center; text-indent: 36pt; line-height: 200%;" align="center"><span style="font-family: "Arial","sans-serif";">***<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt; line-height: 200%;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif";"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt; line-height: 200%;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif";">“Aku mencintai Mbak,” ucap Joy memelas. Saat itu ia bergelung manja dalam pelukanku setelah kami menuntaskan permainan pertama.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt; line-height: 200%;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif";">Aku mengecup rambutnya yang wangi dan berusaha mendekap bahunya yang lebar dan kekar. “<i style="">Don’t ever talk about that,</i>” ucapku lembut, nyaris menyerupai bisikan di telinganya.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt; line-height: 200%;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif";">“Kenapa?”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt; line-height: 200%;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif";">“Aku sudah punya suami, dan kamu…”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt; line-height: 200%;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif";">“Tapi suami Mbak nggak pernah membahagiakan Mbak. Buktinya dia cuma muncul sekali setahun.”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt; line-height: 200%;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif";">“Dia berlayar, Sayang.”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt; line-height: 200%;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif";">“Itu namanya nggak bertanggung jawab.”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt; line-height: 200%;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif";">Aku ingin tertawa geli mendengar omelan polosnya. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt; line-height: 200%;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif";">“Trus, kamu mau bertanggung jawab?” tanyaku.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt; line-height: 200%;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif";">Ia terdiam. Aku tahu ia bingung menjawabnya. Harus kuakui ucapan Bertha kalau dalam hal satu ini. Ia memang kadang bersikap selayaknya usianya. Polos dan manja.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt; line-height: 200%;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif";">“Sudahlah, masa depan kamu masih panjang. Suatu ketika kamu akan menemukan gadis yang sepantaran denganmu.”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt; line-height: 200%;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif";">“Aku nggak suka cewek seperti itu. Mereka kolokan dan egois.”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt; line-height: 200%;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif";">“Tapi lama-lama <st1:place st="on"><st1:state st="on">kan</st1:State></st1:place> juga pasti dewasa.”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt; line-height: 200%;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif";">“Kapan? Aku ingin kawin sekarang.”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt; line-height: 200%;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif";">“Hei,” aku menatap matanya dalam-dalam. Mata yang membuatku lupa dengan usianya yang jauh di bawahku. Mata itu… begitu jantan dan menggoda. “Kamu sadar dengan apa yang kamu ucapkan?”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt; line-height: 200%;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif";">Cowok itu mengangguk.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt; line-height: 200%;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif";">“Dari mana kamu menghidupi keluargamu? Kamu <st1:place st="on"><st1:state st="on">kan</st1:State></st1:place> masih sekolah.”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt; line-height: 200%;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif";">“Aku bisa merampok ayahku!”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt; line-height: 200%;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif";">Aku tertawa geli.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt; line-height: 200%;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif";">“Serius,” katanya dengan <st1:place st="on"><st1:city st="on">gaya</st1:City></st1:place> sok dewasanya. Kalau sudah begitu, gairahku timbul kembali. Aku memeluk dan menciumnya.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt; line-height: 200%;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif";">“Sudah,” kataku kemudian. “Lebih baik kita nikmati aja malam ini. Nggak usah mikirin yang macem-macem. Oke?” aku mengerling manja dan menggoda.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt; line-height: 200%;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif";">Aku melihat rupanya usahaku tidak sia-sia. Gairahnya bangkit kembali. Dan kami menuntaskan permainan kedua yang pasti akan membuat Bertha terkaing-kaing ngilu digigit rasa cemburu!<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt; line-height: 200%;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif";"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: center; text-indent: 36pt; line-height: 200%;" align="center"><span style="font-family: "Arial","sans-serif";">***<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt; line-height: 200%;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif";">Dan hari ini aku kembali bertemu Joy. Setelah berbulan-bulan ia menghilang tak berjejak dan tanpa sebab, kini ia hadir kembali di depan mata. Aku sudah hampir memeluk dan menciumnya karena rindu yang tak tertahankan kalau tak segera sadar bahwa kami tidak cuma berdua di kafe itu.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt; line-height: 200%;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif";">“Siapa?” tanyaku agak kurang senang.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt; line-height: 200%;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif";">“Calon istriku.” Ia lalu memperkenalkan gadis yang bersikap canggung di sampingnya. Namanya Mita. Heh, mirip-mirip namaku?<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt; line-height: 200%;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif";">“Semuda itu?” tanyaku lagi nyaris berbisik.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt; line-height: 200%;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif";">“Lho, Mbak sendiri <st1:place st="on"><st1:state st="on">kan</st1:State></st1:place> yang nyaranin supaya aku mencari calon istri yang sepantaran?”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt; line-height: 200%;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif";">“E…” aku tidak bisa berkata-kata. Tiba-tiba saja aku merasa menyesal telah memberi saran sialan itu. “Tapi… kalian bener-bener serius mau nikah?”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt; line-height: 200%;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif";">“Iya.”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt; line-height: 200%;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif";">“Sekolah kalian?”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt; line-height: 200%;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif";">“Kami ‘<st1:place st="on"><st1:state st="on">kan</st1:State></st1:place> udah tamat. Ngapain lagi?”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt; line-height: 200%;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif";">Pendek benar pikirannya! “E… maksudku, bagaimana kalian membangun rumah tangga…”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt; line-height: 200%;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif";">“Soal materi urusan kedua, Mbak. Yang penting kami bahagia. Iya <st1:place st="on"><st1:state st="on">kan</st1:State></st1:place>, Mit?”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt; line-height: 200%;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif";">Gadis itu mengangguk, masih canggung. Diam-diam suatu perasaan aneh menjalari batinku. Hegh, apakah aku cemburu? Oh, no, aku nggak mungkin cemburu pada anak yang masih bau kencur ini. Tapi… bukankah itu berarti aku akan kehilangan Pendekar Perkasa-ku? Yang membuatku susah mencari tandingannya dalam sepuluh bulan terakhir sejak kehilangannya? Oh, no, ini benar-benar di luar dugaanku. Tiba-tiba saja aku merasa pening. Membayangkan aku akan kehilangan gairah di hari-hari berikutnya, benar-benar memukul ulu hatiku.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt; line-height: 200%;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif";">“Oke deh, kalo gitu, selamat ya?” ucapku perih sambil mengulurkan tangan.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt; line-height: 200%;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif";">Ia menyambut dan menggenggamnya kuat-kuat. Aku hampir menangis sedih. Apalagi setelah itu kemudian kulihat tubuhnya dan sosok gadis itu beranjak pergi menjauh. Semakin menjauh. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt; line-height: 200%;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif";">Kini aku benar-benar menangis. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: center; text-indent: 36pt; line-height: 200%;" align="center"><span style="font-family: "Arial","sans-serif";"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: center; text-indent: 36pt; line-height: 200%;" align="center"><span style="font-family: "Arial","sans-serif";">***<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt; line-height: 200%;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif";">Begitu kuceritakan tentang pertemuan terakhirku dengan Joy, tak henti-hentinya Bertha menarik tissue untuk menyapu pipinya yang basah.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt; line-height: 200%;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif";">“Lho, kok kamu ikut-ikutan nangis sih?” tanyaku heran, tiba-tiba sadar dengan sikapnya yang berlebihan. Saat itu kami berada di ruang kerjaku yang sengaja kukunci dari dalam.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt; line-height: 200%;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif";">“Sedih.”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt; line-height: 200%;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif";">“Iya, tapi kenapa kok kamu lebih sedih dari aku? Padahal yang punya cerita ‘<st1:place st="on"><st1:state st="on">kan</st1:State></st1:place> aku.”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt; line-height: 200%;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif";">“Sedih… belum sempat ikut ngerasain…. Huk-huk…”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt; line-height: 200%;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif";">Diam-diam aku tersenyum geli. Akhirnya keluar juga harapannya yang terpendam. Kasihan Bertha. Selama ini ia merasa iri dengan reputasiku yang selalu beruntung. Untung kamu dapat daun muda banget, katanya. Untung kamu nggak diporotin. Untung kamu dapat --yang biar muda tapi kuat dan nggak canggung, malah selalu memuaskan. Untung… untung kamu nggak seperti aku!<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt; line-height: 200%;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif";">Tapi ah… seuntung-untungnya aku, akhirnya ditinggalkan juga. Akhirnya dibiarkan sepi juga. Akhirnya dibiarkan kembali merana. Sampai aku bisa menemukan yang lain lagi. Tapi, apakah itu gampang? Aku mungkin bisa tinggal angkat telepon mengorder dari pengantara-pengantara terselubung, tapi apa bisa aku menemukan yang sehebat Joy? Ah, lama-lama aku merasa tak bergairah lagi kalau selalu mengingat anak itu. Pengalaman dengannya benar-benar membuatku susah melupakannya.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt; line-height: 200%;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif";">Tok! Tok! Tok!<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt; line-height: 200%;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif";">Tiba-tiba terdengar ketukan di pintu.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt; line-height: 200%;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif";">“Ya?” sahutku kencang-kencang.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt; line-height: 200%;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif";">“Sudah ditunggu <i style="">meeting</i>, Bu!” teriak Santi, sekretarisku dari balik pintu.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt; line-height: 200%;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif";">“Ya, sebentar lagi, San!” lalu buru-buru aku berkata kepada Bertha. “Cuci muka <st1:place st="on"><st1:city st="on">sana</st1:City></st1:place> gih! Ntar diliput <i style="">infotainment</i> lagi! Aku tunggu di ruang <i style="">meeting</i> ya!” lalu aku bergegas ke pintu. Mungkin besok tak ada lagi order-orderan. Tak ada lagi daun muda. Tak ada lagi selingkuh-selingkuhan. <i style="">Joy is the best and the last boy!</i><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt; line-height: 200%;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif";">Tapi apa mungkin?***<o:p></o:p></span></p>Sukma Wiehttp://www.blogger.com/profile/06477265542544056885noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7649079019217492997.post-46609257325626507342007-10-31T05:52:00.000-07:002007-11-07T06:58:46.731-08:00Kotak Hitam, FEMINA, 2007<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjJOltQcnajltgypxg9aY_BhGL2XOjzkN5MWcDVe6AN_lZgvvGDi99Ulpszcs7sCstnOrl3C3XzzFlc-swsbp7ufKCzJ4XI7z-4SxK_FiOjf43BCGwuM1u8-LweCIWh11c5blkYvKqzoecT/s1600-h/72586329.jpg"><img style="margin: 0pt 10px 10px 0pt; float: left; cursor: pointer;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjJOltQcnajltgypxg9aY_BhGL2XOjzkN5MWcDVe6AN_lZgvvGDi99Ulpszcs7sCstnOrl3C3XzzFlc-swsbp7ufKCzJ4XI7z-4SxK_FiOjf43BCGwuM1u8-LweCIWh11c5blkYvKqzoecT/s200/72586329.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5127483891828273954" border="0" /></a> <div style="text-align: left;"> </div><span style="color: rgb(255, 0, 0);font-size:180%;" ><span style="font-weight: bold; font-style: italic;font-family:georgia;" >Kotak Hitam</span></span><o:p></o:p><span style="font-family:Arial;"><span style="color: rgb(102, 0, 204);"><span style="font-style: italic;"><span style="font-weight: bold;"><br /></span></span><span style="color: rgb(102, 102, 102); font-weight: bold;">Cerpen: </span></span><span style="font-style: italic; color: rgb(102, 102, 102); font-weight: bold;">Sukma Wie</span><o:p></o:p></span> <p class="MsoNormal"><span style="font-family:Arial;"><o:p> </o:p></span><br /><b style=""><span style="font-family:Arial;"><o:p></o:p>Riza.<o:p></o:p></span></b></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 27pt;"><span style="font-family:Arial;">Kau terlihat dalam bentuk paling sempurna. Mengenakan gaun coklat muda. Rambutmu kau urai lepas. Bibirmu bersapu lipstick warna natural. Berbicara dengan suara lembut.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 27pt;"><span style="font-family:Arial;">Aku memperhatikan matamu. Jelaga yang mengisyaratkan cerita. Mengundang rasa keingintahuan. Indah parasmu hanya selimut tipis yang tidak mampu menyembunyikan kabut kelam di balik retinamu.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 27pt;"><span style="font-family:Arial;">Kalau aku berada di dekatmu, dan cuma berdua denganmu –tidak di ruangan kelas yang ramai begini, aku akan bertanya padamu, “Maukah kau berbagi denganku?”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 27pt;"><span style="font-family:Arial;">Matamu akan berkaca-kaca dan menjawab, “Aku ingin berbagi denganmu, tapi rasanya terlalu berat…”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 27pt;"><span style="font-family:Arial;">“Aku akan membantumu.”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 27pt;"><span style="font-family:Arial;">“Membantuku?”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 27pt;"><span style="font-family:Arial;">“Ya, aku ingin meringankan bebanmu.”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 27pt;"><span style="font-family:Arial;">“Tidak, ini terlalu berat.”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 27pt;"><span style="font-family:Arial;">“Tak ada yang terlalu berat kalau bersamaku.”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 27pt;"><span style="font-family:Arial;">Dan kau menatapku ragu. Aku tersenyum meyakinkan. Kau menghela napas berat. Lalu satu-satu kau urai jelaga di matamu dengan buliran cerita di bibirmu…<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 27pt;"><span style="font-family:Arial;">Tapi kau tidak sedang cerita.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 27pt;"><span style="font-family:Arial;">Kau di <st1:place st="on"><st1:city st="on">sana</st1:city></st1:place> sedang menguraikan aturan-aturan perkuliahan pascasarjana kepada kami, mahasiswa baru. Dan aku di sini hanya duduk memperhatikanmu. Tanpa sedikit pun kau memperhatikanku.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: center; text-indent: 27pt;" align="center"><span style="font-family:Arial;">****<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal"><b style=""><span style="font-family:Arial;">Ocha.<o:p></o:p></span></b></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 27pt;"><span style="font-family:Arial;">Tak seorang pun tahu kalau aku selalu memperhatikanmu. Aku tahu kau memperhatikanku. Tapi aku pura-pura tak tahu. Kau memperhatikanku dengan matamu yang tipis namun tajam. Aku tidak bisa membaca seluruh pikiranmu, tapi aku bisa meraba tanda tanya di matamu. Hmm, kau ingin tahu tentang aku? Apa yang ingin kau tahu?<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 27pt;"><span style="font-family:Arial;">Aku hanyalah sebuah pesawat rapuh yang jatuh di hutan rimba tak terlacak, dengan kotak hitam tersembunyi yang tak seorang pun mampu menemukannya. Tidak, takkan kubiarkan seorang pun menemukannya. Walau kutahu matamu menyiratkan tekad yang mengerikan.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 27pt;"><span style="font-family:Arial;">Aku memperhatikanmu masih memperhatikanku. Hari itu kau mengenakan kemeja bergaya tim balap berwarna merah dengan logo-logo <i style="">oil company</i> dan otomotif yang menempel di dada dan lenganmu. Cukup keren kelihatannya. Seperti pembalap betulan. Apalagi dengan postur tubuhmu yang besar dan gelap. Kau begitu memesona.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 27pt;"><span style="font-family:Arial;">Kalau aku cukup dekat denganmu, mungkin aku akan bermanja padamu. Bergayut di lengan kekarmu. Menempelkan pipi di bahumu. Alangkah nyamannya. Kau usap lembut rambutku dengan punggung jarimu sambil berkata, “Tidakkah kau ingin menceritakan kisahmu?”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 27pt;"><span style="font-family:Arial;">“Kau ingin mendengarnya?”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 27pt;"><span style="font-family:Arial;">Kau tersenyum mengangguk.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 27pt;"><span style="font-family:Arial;">Aku menghela napas. “Ini terlalu berat untuk kukisahkan.”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 27pt;"><span style="font-family:Arial;">“Kalau bisa meringankanmu, ceritalah.”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 27pt;"><span style="font-family:Arial;">“Mungkin tidak kali ini.”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 27pt;"><span style="font-family:Arial;">Kau menatap mataku, tepat di pusat hatiku. “Apakah kau tidak mempercayaiku?”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 27pt;"><span style="font-family:Arial;">“Aku percaya padamu. Tapi ini tidak mudah bagiku.”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 27pt;"><span style="font-family:Arial;">“Baiklah. Aku akan menunggu.”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 27pt;"><span style="font-family:Arial;">Dan tahukah kau, berapa lama kau menunggu? Selamanya. Karena kotak hitam itu tetap tersimpan utuh di tempatnya. Tak tersentuh.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: center; text-indent: 27pt;" align="center"><span style="font-family:Arial;">****<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal"><st1:place st="on"><st1:city st="on"><b style=""><span style="font-family:Arial;">Bandung</span></b></st1:city></st1:place><b style=""><span style="font-family:Arial;">, tujuh tahun lampau.<o:p></o:p></span></b></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 27pt;"><span style="font-family:Arial;">Dia berdiri di ujung jalan itu dengan perasaan gundah. Apa lagi yang telah dilakukannya? Kenapa semua orang yang dekat dengannya selalu berakhir dengan kematian?<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 27pt;"><span style="font-family:Arial;">“Kau membunuhnya!”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 27pt;"><span style="font-family:Arial;">Suara itu masih mengiang. Tidak di dalam ruang kosong, tapi di dalam benaknya. Namun karena tunggal dan lengang, maka suara itu seperti gema yang berekor panjang.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 27pt;"><span style="font-family:Arial;">“Tidak, aku tidak membunuhnya,” bantahnya sendiri, membela diri. “Aku tidak melakukan apa-apa, dia tiba-tiba terserempet truk dan terjungkal.”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 27pt;"><span style="font-family:Arial;">“Tapi kau ada di situ.”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 27pt;"><span style="font-family:Arial;">Ocha menangis. Dia ada di situ. Dicki ada di situ juga. Terbujur kaku bersimbah darah. Beberapa menit lalu mereka masih berboncengan dengan tawa sumringah. Sekarang?<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 27pt;"><span style="font-family:Arial;">Jangankan sekarang. Sepuluh bulan lalu dia pun telah ‘membunuh’ Akmal. Karena cowok itu baru mengungkapkan perasaan cintanya dan mereka lalu menjalani hari-hari indah, maka cowok itu harus ‘berakhir’ cepat. Kawanan begundal mencegatnya, merampoknya, dan menghunuskan pisau di lambungnya sepulang mengantarkan ia belajar kelompok.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 27pt;"><span style="font-family:Arial;">Dan Akmal bukan yang pertama. Gading pernah mengisi hari-harinya sebelum ‘melanjutkan perjalanan’ ke alam baka ketika pesawat yang ditumpanginya tersuruk ke dasar lautan.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 27pt;"><span style="font-family:Arial;">“Kau adalah kutukan!”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 27pt;"><span style="font-family:Arial;">Ocha menggigil di sudut kamarnya berhari-hari. Menepis segala bayangan buruk yang terus memburunya. Tidak. Aku tidak membunuhnya. Tapi karena kau dekat dengannya, maka dapat dikatakan kau membunuhnya. Mengapa begitu? Mengapa karena aku dekat maka aku dikatakan membunuhnya? Karena kau adalah kutukan! Tidak! Kutukan! Tidak…<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 27pt;"><span style="font-family:Arial;">Ia merasa sendiri. Semua memang tak ada yang menyalahkannya. Tapi ia selalu menyalahkan dirinya sendiri. Tak seorangpun menudingnya. Tapi suara-suara itu selalu menudingnya. Apakah ia terlahir dengan segala kebetulan yang selalu dekat dengan maut?<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 27pt;"><span style="font-family:Arial;">Tidak. Ini takkan pernah terjadi lagi. Ocha bertekad untuk mengakhiri semuanya. Karena ia tahu ini tidak rasional, maka ia berusaha untuk melawannya. Terbukti, dua tahun ia bertahan tanpa apa-apa. Meski Taufan telah mengisi hari-harinya lebih dari dua musim. Kini ia bisa bernapas lega. Taufan akan menjadi pelabuhan hatinya yang abadi. Cincin pertunangan emas putih pun tak ragu-ragu ia lingkarkan di jari manisnya.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: center; text-indent: 27pt;" align="center"><span style="font-family:Arial;">****<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal"><st1:place st="on"><st1:city st="on"><b style=""><span style="font-family:Arial;">Jakarta</span></b></st1:city></st1:place><b style=""><span style="font-family:Arial;">, setahun kemudian</span></b><span style="font-family:Arial;">.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 27pt;"><span style="font-family:Arial;">“Apa? Kanker?”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 27pt;"><span style="font-family:Arial;">Taufan mengangguk lesu. “Stadium dua.”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 27pt;"><span style="font-family:Arial;">“Kau…kau kelihatan sehat.”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 27pt;"><span style="font-family:Arial;">“Tapi darahku tak sehat. Setidaknya itulah yang dikatakan dokter.”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 27pt;"><span style="font-family:Arial;">Dan Ocha harus menghadapi kenyataan memiliki calon suami yang sekarat. Ia kemudian menjadi akrab dengan rumah sakit. Selang-selang infus, perawat yang hilir mudik, bau obat, dan sebagainya.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 27pt;"><span style="font-family:Arial;">“Kau bisa pergi sekarang, Ocha,” ucap Taufan lemah. “Kau tidak harus selalu bersamaku.”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 27pt;"><span style="font-family:Arial;">“Tapi aku tunanganmu, Mas.”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 27pt;"><span style="font-family:Arial;">“Tunangan ‘<st1:place st="on"><st1:state st="on">kan</st1:state></st1:place> belum tentu nikah.”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 27pt;"><span style="font-family:Arial;">Mata Ocha memanas. “Aku ingin menikah segera.”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 27pt;"><span style="font-family:Arial;">“Siapapun dia, aku ikhlas, Ocha.”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 27pt;"><span style="font-family:Arial;">“Tidak, aku akan menikah denganmu.”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 27pt;"><span style="font-family:Arial;">Dua minggu kemudian, ijab <st1:place st="on"><st1:city st="on">kabul</st1:city></st1:place> itu pun dilaksanakan. Dan dua hari kemudian, Taufan pergi selamanya dengan penyakitnya.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 27pt;"><span style="font-family:Arial;">Ocha menanggung perih yang tak tertahankan. Ternyata suara-suara itu benar. Ia adalah kutukan.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: center; text-indent: 27pt;" align="center"><span style="font-family:Arial;">****<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal"><b style=""><span style="font-family:Arial;"><o:p> </o:p></span></b></p> <p class="MsoNormal"><b style=""><span style="font-family:Arial;">Riza – Ocha.<o:p></o:p></span></b></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 27pt;"><span style="font-family:Arial;">“Halo?”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 27pt;"><span style="font-family:Arial;">“Halo, Ocha.”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 27pt;"><span style="font-family:Arial;">“Maaf, ini siapa ya?”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 27pt;"><span style="font-family:Arial;">“Riza.”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 27pt;"><span style="font-family:Arial;">“Riza?”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 27pt;"><span style="font-family:Arial;">“Mahasiswa pasca.”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 27pt;"><span style="font-family:Arial;">“Oh, ada yang bisa aku bantu?”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 27pt;"><span style="font-family:Arial;">“Banyak.”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 27pt;"><span style="font-family:Arial;">“Ma…maksudnya?”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 27pt;"><span style="font-family:Arial;">“Hanya kau yang bisa membantuku.”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 27pt;"><span style="font-family:Arial;">“A…apa yang bisa aku bantu?”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 27pt;"><span style="font-family:Arial;">Tak ada jawaban. Hening. Lalu…<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 27pt;"><span style="font-family:Arial;">“Aku ingin dekat denganmu.”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 27pt;"><span style="font-family:Arial;">“Ma…maksudnya?”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 27pt;"><span style="font-family:Arial;">“Aku ingin mengenalmu lebih dekat.”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 27pt;"><span style="font-family:Arial;">Sebagai sekretaris direktur program pasca, ia terbiasa dengan permohonan bantuan administratif mahasiswa. Tapi belum pernah ia menemukan yang seaneh ini.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 27pt;"><span style="font-family:Arial;">“Aku nggak ngerti maksud…”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 27pt;"><span style="font-family:Arial;">“Kau mungkin tak pernah memperhatikanku, tapi aku selalu memperhatikanmu.”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 27pt;"><span style="font-family:Arial;">“Di.. di mana?” Ocha mulai merasa takut.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 27pt;"><span style="font-family:Arial;">“Di kelas.”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 27pt;"><span style="font-family:Arial;">“Kapan?”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 27pt;"><span style="font-family:Arial;">“Setiap kali kau datang.”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 27pt;"><span style="font-family:Arial;">Ocha mencoba mengingat. Ia hanya pernah terkesan dengan seseorang yang memperhatikannya dengan mata penuh tanda tanya.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 27pt;"><span style="font-family:Arial;">“Apakah kau…”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 27pt;"><span style="font-family:Arial;">“Ya, aku Riza.”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 27pt;"><span style="font-family:Arial;">“Yang mana ya?”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 27pt;"><span style="font-family:Arial;">“Aku suka warna merah.”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 27pt;"><span style="font-family:Arial;">Dan Ocha seperti beku di tempatnya. Kau!<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 27pt;"><span style="font-family:Arial;">Apakah kau datang untuk membuka kotak hitam itu? Apakah kau ingin mengetahui sisi kelam dalam diriku? Yang untuk mengingatnya pun terasa berat? Siapakah kau sebetulnya? Mengapa kau begitu tertarik untuk mengetahuiku lebih dalam?<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 27pt;"><i style=""><span style="font-family:Arial;">Telepon hening</span></i><span style="font-family:Arial;">.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 27pt;"><span style="font-family:Arial;">Dan kau sudah mengingatku, Ocha? Bagus. Berarti kau mulai mengerti apa yang kuinginkan. Aku hanya ingin mengetahui kisahmu. Aku hanya ingin menyibak kabut yang kulihat selalu menggantung di retina matamu. Aku hanya ingin menyeka jelaga yang menyelimuti relung kisahmu.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 27pt;"><i style=""><span style="font-family:Arial;">Hening</span></i><span style="font-family:Arial;">.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 27pt;"><span style="font-family:Arial;">Apakah kau sungguh-sungguh? Apakah kau siap menanggung risikonya? Apakah kau siap berakhir seperti yang lain? Aku tidak siap. Membayangkan apa yang akan terjadi saja sudah membuatku takut. Kukira cukup. Hidupku sudah berakhir dengan kepergian Taufan.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 27pt;"><span style="font-family:Arial;">“Ocha…” suara tebal laki-laki itu membangunkan Ocha.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 27pt;"><span style="font-family:Arial;">“Riza, atau siapapun kau, kau tidak tahu apa yang sedang kau lakukan.”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 27pt;"><span style="font-family:Arial;">“Kenapa? Apakah aku salah? Aku cuma ingin…”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 27pt;"><span style="font-family:Arial;">“Aku punya kotak hitam yang tak pernah kubiarkan seorangpun mampu menemukannya.”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 27pt;"><span style="font-family:Arial;">“Setiap orang punya kotak hitam, Ocha. Dan kita tidak harus menemukannya. Biarkan dia tersimpan aman di tempat yang tak terlacak.”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 27pt;"><span style="font-family:Arial;">“Tapi selama kotak hitam itu ada bersamaku, tak seorang pun boleh berdekatan denganku.”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 27pt;"><span style="font-family:Arial;">“Kenapa? Kau takut aku curi kotak hitam itu?”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 27pt;"><span style="font-family:Arial;">“Tidak, justru aku takut kau akan menjadi bagian dari kotak hitam itu.”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 27pt;"><span style="font-family:Arial;">“Kalau begitu, biarkan aku menemukan kotak hitam itu. Akan aku hancurkan!”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 27pt;"><span style="font-family:Arial;">“Kau begitu optimis. Kau tidak tahu seberapa berbahaya apa yang kaulakukan.”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 27pt;"><span style="font-family:Arial;">“Aku selalu optimis, karena aku selalu siap menanggung risiko perbuatanku.”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 27pt;"><i style=""><span style="font-family:Arial;">See</span></i><span style="font-family:Arial;">, kau begitu gagah. Kaulah laki-laki sempurna yang pernah kutemui. Hatimu segagah posturmu. Sanggupkah aku kehilanganmu? Atau kehadiranmu justru awal dari segala ketakraguan? Sesungguhnya aku lelah dalam ketakutan. Aku butuh sayap optimis dan keberanian. Yang dengannya aku bisa melibas suara-suara itu. Yang dengannya aku bisa berjuang melawan segala kebenaran yang menyakitkan.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 27pt;"><span style="font-family:Arial;">“Kalau begitu… kapan kau ingin menemuiku?”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 27pt;"><span style="font-family:Arial;">“Sekarang.”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 27pt;"><span style="font-family:Arial;">“Sekarang?”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 27pt;"><span style="font-family:Arial;">“Ya, sekarang. Aku di depan rumahmu sekarang.”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 27pt;"><span style="font-family:Arial;">Seperti tersengat, Ocha segera bangkit dari tempatnya, dan berlari ke dekat jendela.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: center; text-indent: 27pt;" align="center"><span style="font-family:Arial;">Laki-laki itu benar. Dia sudah menunggu di depan. Dengan segunung optimisme. ****<o:p></o:p></span></p>Sukma Wiehttp://www.blogger.com/profile/06477265542544056885noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7649079019217492997.post-36567620574668514212007-10-30T23:25:00.000-07:002008-01-11T00:07:18.048-08:00And the Guy Who Sent a Valentine Bouquet is..., CHIC No.4, Feb 2008<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhUOCoqFyFXnna9Ymj8Robe8PwWg-4v62e8sYoVYyrRrxLU1quPMAZexZXScv79xsESx6w4hWYp3YL8G4vdVoYhWiHBeDES1LxVtbF6YYz3T7-K4hyBvIA4CblQaWyAo5ZRxxJpVgwdRQA7/s1600-h/sukmawie2.jpg"><img id="BLOGGER_PHOTO_ID_5127384991616348946" style="FLOAT: left; MARGIN: 0pt 10px 10px 0pt; CURSOR: pointer" alt="" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhUOCoqFyFXnna9Ymj8Robe8PwWg-4v62e8sYoVYyrRrxLU1quPMAZexZXScv79xsESx6w4hWYp3YL8G4vdVoYhWiHBeDES1LxVtbF6YYz3T7-K4hyBvIA4CblQaWyAo5ZRxxJpVgwdRQA7/s200/sukmawie2.jpg" border="0" /></a><b><span style="COLOR: rgb(204,51,204)">And The Guy Who Sent A Valentine Bouquet Is…</span><?xml:namespace prefix = o /><o:p></o:p></b><br /><span style="FONT-WEIGHT: bold; COLOR: rgb(153,51,153)">Cerpen </span><i><span style="FONT-WEIGHT: bold; COLOR: rgb(153,51,153)">Sukma Wie</span><o:p></o:p></i> <p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 45pt"><br /></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 45pt">Audy selalu memberi kejutan di pagi hari. Apakah itu gosip tentang Mr Estes bos kami yang <i>cool</i>, atau sebuah <i>rush job</i> yang harus selesai sebelum pukul 12.00 a.m teng! Dan itu pasti memancing komentar teman-teman seisi kantor dengan nada yang sama seolah-olah sebuah koor paduan suara: “ha??”, “masa’ siiih??”, “ahh…yang bener?!” “Masa si bule gitu?” atau… “duh, mati gue!”, “apa ngga bisa diundur <i>due midnight</i>?”, “bakalan <i>sport</i> jantung gue pagi ini!”, “gile lo Dy, ngerjain orang pagi-pagi!”</p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 45pt">Tapi begitulah. Audy selalu tak mau peduli. Sebagai sekeretaris Mr Estes, katanya ‘dia cuma menjalankan tugas’. Ya, Audy memang sudah terkenal sebagai terminal distribusi tugas-tugas <i>rush job</i> sekaligus gosip center si bos.</p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 45pt">Namun pagi ini kejutannya agak berbeda.</p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 45pt">“Pagi, <?xml:namespace prefix = st1 /><st1:place st="on"><st1:city st="on">Chita</st1:city></st1:place>!” sapa Audy seperti biasanya, ramah dan misterius-progresif.</p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 45pt">“Pagi, Dy!” balasku tak kalah ramah. ”eh, si bule udah datang, blom?” sambungku dengan nada dan volume diturunkan 50%.</p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 45pt">“Tenang…si bule blom datang…tapi ada penggantinya,” senyum Audy semakin misterius-progresif.</p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 45pt"><span lang="SV">“Penggantinya? Emang si bule udah ciao?”<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 45pt"><span lang="SV">”Masih...masih... tapi ini maksud gue bukan pengganti si bule, tapi pengganti gosip tentang si bule.”<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 45pt"><span lang="SV">”Kejutan atau kutukan?”<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 45pt"><span lang="SV">”Tergantung cara lo memandangnya...tapi kayaknya lebih deket ke kutukan deh...huehehe...” Audy tertawa ngakak, ”Kutukan manis!” sambungnya seru.<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 45pt"><span lang="SV">”Ah elo!” aku baru mau beranjak pergi ke mejaku yang berada di ruangan di sebelah ruangan Audy ketika mataku tiba-tiba menangkap benda menarik yang dikeluarkan Audy dari bawah meja. ”Buket dari mana, Dy? Gile, romantis banget! Ada juga yang khilaf mau merhatiin elo hihihi...”<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 45pt"><span lang="ES">”Ini bukan buat gue, tau...tapi buat elo!”<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 45pt"><span lang="ES">”Gue??”<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 45pt"><span lang="ES">“Nih…” Audy menyodorkan buket bunga yang terkemas indah dengan pita pink yang…aduuuuh romantis banget! “…tanpa nama pengirim, tanpa tanda terima, satpam yang bawa kemari…katanya dari seorang cowok…sejak kapan ada cowok yang khilaf merhatiin elo?”<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 45pt"><span lang="ES">Aku tidak menyimak ucapan dan gurauan Audy. Kepalaku langsung dipenuhi tanda tanya. Siapa yang ‘berani-berani’nya mengirim tanpa mencantumkan nama pengirim dan alamat begini? Pasti kalau bukan teroris, ya manusia <i>gokil</i> yang mau mengerjai aku. Tapi siapa? Hezel yang anak <i>art</i> itu memang suka godain aku, tapi untuk iseng mengirim buket bunga yang (jujur aja menurutku rada-rada norak) seperti ini, kayaknya nggak mungkin deh. Atau Ary yang misterius itu? Atau ini taktik Audy (dan teman-teman) aja yang kurang kerjaan tiba-tiba kesambet pikiran iseng mau mengerjai aku dengan mengarang cerita dikirim sama cowok? (tapi ini bisa aku konfirmasikan ke satpam apa benar). Lantas siapa ya? </span><span lang="FI">Semua berpusaran di benakku dan tak satu pun menyimpulkan kepastian. Agaknya aku harus mencari tahu sendiri siapa pelakunya, atau <i>forget it</i> (toh nggak penting-penting amat). Siapapun pengirimnya, yah.. <i>thank you</i> aja deh. <o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 45pt; TEXT-ALIGN: center" align="center"><span lang="ES">***<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 45pt"><span lang="ES"><o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 45pt"><span lang="ES">Valentine. <o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 45pt"><span lang="ES">Hmmm. Sebuah kata yang manis tapi sekaligus pahit buatku. Manis, karena telah menggoreskan berpuluh musim indah bersama Gibran yang takkan pernah kulupakan. Namun juga pahit, karena di hari istimewa ini pulalah Gibran pergi dari sisiku dengan cara yang amat mengenaskan!<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 45pt"><span lang="SV">Kenangan itu tak pernah lepas dari ingatanku. Di suatu malam, saat mobil yang dikendarai Gibran menepi di depan sebuah restoran yang akan kami jadikan momen <i>valentine’s date</i>. Ketika Gibran keluar dan berjalan memutari depan mobil untuk membukakanku pintu, mendadak dari arah yang tak terduga melaju sebuah <i>pick-up</i> dalam kecepatan tinggi dan menyerempet tubuh Gibran hingga cowok terkasih itu terlempar beberapa meter membentur trotoar jalan. Refleks aku menjerit, dan seperti ada kekuatan yang membantuku segera keluar dari mobil untuk memburu ke trotoar. Di sana Gibran terkapar berlumuran darah. Aku memeluknya sambil berteriak meminta tolong. Seorang satpam dan beberapa pengunjung restoran ikut berlari mendekat untuk menengok, dan beberapa saat kemudian terdengar suara sirene ambulans mendatangi.<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 45pt"><span lang="SV">Gibran tak terselamatkan. Tentu saja. Benda tak bernyawa pun akan hancur berkeping bila diserempet dengan kekuatan maha dahsyat seperti itu. Tak henti-hentinya aku mengutuk pengendara <i>pick-up</i> putih yang kabur dan tak bertanggung jawab itu. Apalagi setelah kuketahui polisi ternyata tidak berhasil mengidentifikasi siapa pelaku tabrak lari itu. Dendamku semakin menjadi-jadi. Ingin rasanya aku membalas perbuatannya yang telah merenggut nyawa Gibranku. Berhari-hari aku tenggelam dalam duka yang dalam. Sulit untuk memahami apalagi mempercayainya. Bagaimana mungkin dalam sekejap laki-laki terkasihku itu terenggut di depan mataku, justru di saat kami sedang merayakan sebuah momen spesial yang jutaan pasangan di dunia ini pun sedang merayakannya.<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 45pt"><span lang="SV">Yani, sahabatku, berkali-kali meyakinkanku bahwa hidup memang tak pernah bisa ditebak arahnya. Karena Sang Pemilik Hidup bisa mengambilnya sewaktu-waktu dengan cara apapun yang Ia kehendaki. Yani terus menabah-nabahkanku dan menguatkanku untuk menerima kenyataan dengan lebih rasional. Yah... Lambat-laun akhirnya aku bisa memahami dan menerima bahwa semua itu kehendak Yang Di Atas. Tapi dendamku tak pernah surut. Aku sulit melupakan kejadian itu, dan terlebih, sulit memaafkan pelakunya. Ingin rasanya aku bertemu dan menggilasnya sampai hancur, seperti ia telah menggilas hancur hati dan masa depanku bersama Gibran.<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 45pt"><span lang="FI">Ah, Gibranku sayang. Di saat-saat seperti ini aku selalu dipaksa kembali untuk mengenang laki-laki pujaanku itu. Candanya, senyumnya yang hangat, perhatian-perhatiannya yang selalu <i>gentle</i>, semua... Bahkan masih tercium wangi khas Bvlgari Acqua yang selalu meruap dari tubuhnya yang tegap.<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 45pt"><span lang="FI">”Chita, <i>still working</i>?” tiba-tiba aku dikejutkan oleh Mr Estes yang sudah berdiri di sisiku.<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 45pt">”<i>Yes, I have to finish a little job</i>.”</p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 45pt">“<i>Ok, see you tomorrow</i>,” Mr Estes sudah hendak berbalik menjauh ketika tiba-tiba tubuhnya membalik kembali. “<i>Happy Valentine</i>, <st1:place st="on"><st1:city st="on">Chita</st1:city></st1:place>,” senyumnya misterius. <span lang="SV">Si Bule ini cukup menarik sebetulnya, sayang demennya sama cewek-cewek <i>high-class</i> sekelas Tamara atau Luna Maya.</span><span lang="FI"><o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 45pt"><span lang="FI">“<i>Happy Valentine, Mr Estes</i>,” aku membalasnya dengan ramah sambil memandang senyumnya yang menghilang bersama punggungnya.<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 45pt"><span lang="FI">Kembali aku menekuri monitor di depanku. Sesungguhnya <i>’a little job’ </i>yang aku maksud tak lain adalah <i>’a big thing’</i> yang sedang menetas di alam kenanganku. Monitor di hadapanku hanyalah sebagai pajangan. Sedikitpun tak tersentuh perhatianku.<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 45pt"><span lang="FI">Ahh...<i>life goes on</i>...aku pun segera men-<i>shut down</i> komputer dan merapikan mejaku. Aku tidak bisa tenggelam terus-menerus dalam kesedihan sementara waktu terus berlari di hadapanku. <i>Forgive and forget</i>, mungkin sebuah ungkapan ampuh yang bisa menyembuhkan. Akan kucoba.<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 45pt"><span lang="FI">Aku lalu mematikan AC dan lampu ruangan. Di ruangannya Audy sudah lenyap sejak pukul 5 sore tadi. Dia hanya <i>say goodbye</i> sebentar lantas terbang bersama teman-teman cewek lain. Semua ramai membicarakan topik yang sama: Valentine.<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 45pt"><span lang="FI">Melewati ruangan berikutnya, aku mengintip Ary yang memandangku misterius. Ia adalah <i>Account Manager</i> paling ’tak terjangkau’ di kantorku. Nggak banyak omong. Ia hanya membalas sapaanku singkat dengan senyum terpendek di dunia, lantas membuntutiku dengan matanya yang tajam. Di lobi aku bertemu Hezel. Seperti biasa, ia selalu menggodaku.<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 45pt"><span lang="FI">”Pasti nungguin aku ya, makanya sengaja pulang telat,” ucapnya dengan senyumnya yang <i>charming</i>. Sebetulnya kalau aku tidak sedang ’terikat’ sama Gibran, sudah lama kubalas sinyal agresif cowok ini. Apanya coba yang kurang pada dia. <i>Charming</i>, kreatif, perhatian, dan dia punya <i>appeal</i> tersendiri yang jarang ada pada pria lain. <o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 45pt"><span lang="FI">”Kalau iya, kenapa?” balasku menantang.<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 45pt"><span lang="FI">”Jadi mau nih, pulang bareng?”<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 45pt"><span lang="FI">”Mau dooong, siapa juga yang nggak mau sama cowok seganteng Hezel.”<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 45pt"><span lang="FI">Hezel tersenyum sambil menggerakkan tangan ”yess!” di udara beberapa kali.<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 45pt"><span lang="FI">Aku segera menyambung, ”Tapi barengnya sampe di pintu aja ya.”<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 45pt"><span lang="FI">”Yaa, Chita...” lenguhnya kecewa.<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 45pt"><span lang="FI">”Yuk, pulang bareng,” aku mengajak cowok itu yang dengan senang hati menggandeng tanganku sampai pintu. ”Oke, <i>bye</i>...” aku melepaskan genggamannya dan buru-buru mendorong pintu ke luar.<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 45pt"><span lang="FI">”Chita...” ia masih berdiri penasaran memandangku. ”<i>Happy Valentine</i>...”<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 45pt"><span lang="FI">Aku cuma menjawabnya dengan senyum sambil mengacungkan jempol. Ia tetap tampak penasaran, seperti sudah merencanakan sesuatu untukku, tapi tak kesampaian. Aku berjalan terus menuju trotoar di depan kantor. Beberapa detik kemudian sebuah taksi berwarna biru mendekat. Aku segera menumpangnya dan meluncur di sela keramaian malam kota. Entah kenapa <i>feel</i>-ku kok di mana-mana seperti serba merah jambu. Ada aura hangat yang menyembul, serasa seisi kota sedang berpesta merayakan <i>Valentine’s Nite</i>. Lampu-lampu reklame seperti menari-nari, bahkan lampu sorot kendaraan tampak berkilau ceria turut menghiasi malam. Terdengar musik romantis, hmmm.. bahkan radio yang diputar sopir taksi pun mendendangkan lagu <i>Valentine</i>-nya Martina McBride.<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 45pt"><span lang="FI">Tapi lambat-laun, aku merasakan ada suatu keanehan. Sorot lampu dari salah satu kendaraan di belakang taksi terlalu terang dan menyilaukan. Aku menoleh. Sulit melihat jelas siapa, karena terhalang cahaya lampu yang <i>overlighted</i>. Aku menyuruh sopir taksi untuk pindah jalur. Benar, mobil di belakang kami ikut pindah jalur. Hatiku mulai was-was. Apakah mobil di belakang itu sengaja membuntuti atau kebetulan saja?<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 45pt"><span lang="FI">Akhirnya aku mengambil keputusan mendadak begitu taksi melewati sebuah pusat perbelanjaan yang cukup ramai.<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 45pt"><span lang="FI">”Pak, stop di sini, Pak.”<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 45pt"><span lang="FI">”Nggak jadi ke Mampang?”<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 45pt"><span lang="FI">”Nggak, Pak. Aku mau beli sesuatu.”<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 45pt"><span lang="FI">Taksi akhirnya berbelok dan berhenti tepat di depan mall. Aku segera turun setelah membayar dan setengah berlari memasuki bangunan penuh cahaya itu. Sempat aku menoleh ke belakang, mobil itu sudah tak kelihatan.<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 45pt"><span lang="FI">Namun belum sempat aku melangkah lebih ke dalam, tepat di sebuah tikungan yang dibatasi pilar besar, mendadak sesuatu menyentuh lenganku dengan lembut membuat jantungku nyaris melompat.<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 45pt"><span lang="FI">”Chita?” Sharita tiba-tiba muncul seperti memotong mimpi burukku. ”Mau ke mana? Kok kamu pucat sekali kayak baru ngelihat hantu?”<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 45pt"><span lang="FI">”Aku... aku... eh, Ta, lagi ngapain?”<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 45pt"><span lang="FI">”Ya belanja dong...sekalian <i>survey</i> kecil-kecilan...” Sharita adalah karyawan dari divisi <i>strategic planning</i> di <i>agency</i> tempat aku bekerja. Kerjaannya memang melakukan <i>survey</i> konsumen. ”Kamu ngapain?”<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 45pt"><span lang="FI">”Oh aku juga mo belanja, Ta.”<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 45pt"><span lang="FI">”Yuk, kalo gitu barengan aja.”<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 45pt"><span lang="FI">Kami pun berjalan barengan memasuki supermarket, sambil aku diam-diam berusaha menetralisir debar jantungku. Setelah ngobrol sana-ngobrol sini sembari belanja (aku cuma membeli sebuah pembersih wajah untuk <i>stock</i> begitu menyadari sebenarnya aku tidak sedang butuh belanja apa-apa), Sharita mengajak aku pulang bareng dengan mobilnya. Dia akan mengantarku sampai rumah. Tapi ketika tiba di lapangan parkir (atau tepatnya taman terbuka) yang luas, mendadak Sharita seperti diingatkan sesuatu.<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 45pt"><span lang="FI">”Aduh, aku lupa beli <i>pampers</i>, Chit. Kamu tunggu di mobil aja ya, sebentar kok.”<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 45pt"><span lang="FI">Aku mengiyakan dengan perasaan tak enak karena sudah merepotkannya. Beberapa saat setelah Sharita menghilang, aku segera melangkah sendiri menuju mobil Sharita yang sudah aku kenal. Namun rupanya aku tak perlu bersusah-payah berjalan jauh, karena di sebuah keremangan lampu yang dinaungi pohon akasia, mendadak sebuah tangan menarikku cukup keras sehingga belum sempat kuteriakkan kata pertolongan, tangannya yang satu sudah membekap mulutku dan setengah menyeret membawaku ke mobil yang terparkir tak jauh dari tempat itu.<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 45pt"><span lang="FI">”Sebaiknya kau tidak berteriak,” sebuah suara berat mengancamku. ”Karena aku tidak akan mengapa-apakan kamu sepanjang kamu tidak berbuat yang mencurigakan.”<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 45pt"><span lang="FI">Dalam bekapannya, wajahku mengangguk setuju. Ia lalu melonggarkan bekapannya dan setengah memaksa menyuruhku duduk di jok depan. Setelah menutup pintu, sosok asing itu lalu memutar dan mengambil tempat di depan setir.<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 45pt"><span lang="FI">”Siapa kau, dan mau kau bawa ke mana aku, apa maumu sebenarnya?” tanyaku beruntun.<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 45pt"><span lang="FI">Ia hanya melirikku dengan sekilas senyum menyeringai. Astaga, baru kusadari alangkah menariknya wajah ’sang tokoh jahat’ yang barusan membekap dan menculikku dengan paksa ini. Aku makin penasaran. Tapi sikapnya sangat dingin dan cuek.<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 45pt"><span lang="FI">Ia mulai menyalakan mesin dan menjalankan mobil untuk membawaku entah ke mana.<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 45pt"><span lang="FI">”Hei, siapa kau dan mau kau bawa ke mana aku?” ahh...sempat terbersit perasaan alangkah beruntungnya aku bertemu dan diculik penjahat terganteng sedunia, tapi pikiran rasional segera menyadarkanku.<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 45pt"><span lang="FI">”Kau diam saja! Ingat, aku nggak akan ngapa-ngapain kamu selama kamu nggak bikin aku hilang sabar.”<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 45pt"><span lang="FI">”Hei, gimana mungkin aku nggak bertanya kalau aku nggak kenal kamu dan tiba-tiba...”<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 45pt"><span lang="FI">”Diaaaaam!!!” bagaikan guntur yang menggelegar suaranya seketika menghentikan seluruh aliran darahku. Kini aku melihat wajahnya pun tegang.<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 45pt"><span lang="FI">Gugup, aku membuang pandang ke arah jalan dan membiarkannya menyetir tanpa suara. Tapi aku tahu, di balik dadaku, jantung ini mengalahkan debar jantung <i>sprinter</i> tercepat di dunia. Lama terdiam, mataku akhirnya mencuri lirik ke wajahnya. Hmmm, kalau saja dia bukan orang jahat, aku yakin banyak wanita yang bertekuk lutut oleh pesonanya. Aku bahkan hampir tidak bisa membedakan wajah Brad Pitt saat lupa cukuran dengan wajah pria di sampingku ini. Sungguh mempesona dan macho! Tulang rahangnya membentuk garis aristokrat yang kental. Hidungnya mancung kukuh, alisnya lebat dan matanya tajam menghunjam ke depan. Aku memperhatikan otot lengan dan dadanya yang keras. Hei, apakah ilusi pangeran Hollywood benar-benar hadir di depan mata?<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 45pt"><span lang="FI">Tiba-tiba HP-ku berdering. Aku melirik ke <i>display</i>. <i>Sharita calling</i>.. Aku meliriknya sebentar, dan seperti tahu maksudku, ia segera mengangguk dengan syarat, ”kau tahu apa yang harus kau katakan, jangan macam-macam!”<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 45pt"><span lang="FI">Aku lalu menjawab panggilan Sharita dan berbohong dengan mengucapkan maaf karena harus terburu-buru pulang. Sharita sempat menanyakan apakah aku baik-baik saja (mungkin ia meraba sebuah getaran tak wajar dalam nada suaraku?), dan aku menjawab <i>I’m fine</i>. Ia lalu <i>say goodbye and take care</i>. Aku kembali melirik si pria asing yang tetap <i>coo</i>l mengendarai mobil. Tiba di sebuah restoran, ia melambatkan mobil untuk mencari parkiran. Aku terkejut. Ini kan...?<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 45pt"><span lang="FI">”Aku ingin mentraktirmu makan,” ucapnya datar seperti dapat membaca pikiranku.<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 45pt"><span lang="FI">”Tapi... kenapa di sini?”<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 45pt"><span lang="FI">”Kenapa? Nggak suka? Aku sudah memesan meja...”<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 45pt"><span lang="FI">”Kau... siapa kau sebenarnya?” tanyaku akhirnya, nggak tahan.<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 45pt"><span lang="FI">Ia tersenyum sedikit lebar. Masya Allah, baru lebar sedikit begitu saja senyumnya sudah hampir meruntuhkan langit hatiku. ”Anggaplah aku kencan Valentine misteriusmu,” sahutnya enteng. Ia lalu memutar dan membukakanku pintu mobil. Dengan lembut kemudian diraihnya tanganku dan menuntunku ke dalam. Anehnya, aku menurut saja. Antara rasa takjub, penasaran, takut, dan terbius pesonanya berbaur jadi satu.<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 45pt"><span lang="FI">Benar saja. Di dalam ia sudah menyiapkan meja di ruangan <i>private</i> yang ditata sangat romantis. Aduh, kalau saja ini bukan perangkap, aku sudah meluapkan perasaanku sedemikian rupa. Wanita mana yang takkan tersanjung dijamu seistimewa ini. Tapi begitulah. Ini ibarat istana di celah lembah sunyi dan terpencil. Kami menikmati santapan tanpa suara. Bahkan ketika ia menghampiriku untuk membantu menuangkan minuman <i>dessert</i> sehingga membuatku dapat mencium aroma maskulin tubuhnya, ia hanya membuatku terpaku tak berkutik di tempat.<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 45pt"><span lang="FI">Lantas beberapa menit kemudian kami pun kembali ke mobil. Aku merasa agak risih ketika tangannya menggenggam mesra tanganku, apalagi beberapa <i>waitress</i> yang memandangku seperti tak percaya cowok seganteng pria ini mau berjalan bersisian denganku yang... astaga, baru aku sadari betapa lusuhnya aku dengan pakaian kerja. Tiba-tiba aku merasa malu sekali. Tapi apa mau dikata. Aku hanya menuruti saja maunya.<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 45pt"><span lang="FI">Di dalam mobil, tiba-tiba aku tercenung memandang trotoar di depan. Ia (lagi-lagi) seperti dapat membaca pikiranku.<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 45pt"><span lang="FI">”Maafkan aku, aku nggak bermaksud...” mendadak suaranya terdengar lembut.<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 45pt"><span lang="FI">Aku meliriknya dan mengangkat tangan. ”<i>It’s ok</i>. Ini nggak ada hubungannya dengan kamu.”<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 45pt"><span lang="FI">”<i>Are you sure</i>?”<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 45pt"><span lang="FI">”<i>Yes, absolutely</i>! Aku punya kenangan pahit di sini, ngngh...pribadi...”<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 45pt"><span lang="FI">”Gimana kalo ada hubungannya denganku?”<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 45pt"><span lang="FI">”Maksud kamu?” kini aku memandangnya tak mengerti.<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 45pt"><span lang="FI">”Chita, maafkan aku. Akulah yang mengirim buket bunga itu. Aku pula yang membuntuti taksimu. Aku...”<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 45pt"><span lang="FI">”Kau tau namaku??”<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 45pt"><span lang="FI">Ia mengangguk. ”Aku sepupunya Yani.”<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 45pt"><span lang="FI">Kini aku makin tercengang. ”Kenapa kau lakukan semua itu?”<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 45pt"><span lang="FI">”Aku... aku cuma ingin minta maaf.”<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 45pt"><span lang="FI">”<i>What for</i>?”<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 45pt"><span lang="FI">”Akulah yang menyerempet pacarmu dua tahun lalu...”<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 45pt"><span lang="FI">Tiba-tiba saja aku merasa seperti mendengar kabar terburuk sepanjang segala abad. Lama aku ternganga sampai tahu-tahu tanganku sudah bergerak memukul dadanya. ”Kamu!” seruku pedih. ”Kamu telah membunuh orang yang paling aku cintai, kamu telah merenggut masa depanku, kamu telah mengambil semua kebahagiaanku, kamu...” suaraku tersekat di tenggorokan. Terlalu banyak yang ingin aku tumpahkan, yang sudah aku pendam bermusim-musim lamanya, dalam kesedihan, dalam dendam, dalam keputusasaan...dan kini aku menemukan muara yang tepat. Ingin sekali aku membunuh makhluk terkutuk di hadapanku ini, tapi yang aku lakukan hanya menangis. Aku terisak tanpa daya.<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 45pt"><span lang="FI">”Maafkan aku, Chita. Aku merasa berdosa sekali. Apalagi begitu tahu cerita Yani tentangmu, aku merasa tak tahan menanggung rasa bersalah terus-menerus. Akhirnya sebulan lalu aku putuskan cerita ke Yani dan dia marah besar. Sampai aku katakan ingin meminta maaf langsung kepadamu. Tapi aku punya rencana lain. Aku ingin menuntaskan kebahagian yang tak sempat kau nikmati saat malam valentine itu. Aku ingin memberi kamu <i>surprise</i>, yang aku harap bisa menyenangkan kamu. Aku....”<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 45pt"><span lang="FI">”Aku nggak mengharapkan semua itu!!” tiba-tiba saja suaraku menggelegar. ”Aku ingin kamu segera menyerahkan diri ke polisi!”<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 45pt"><span lang="FI">”Aku akan lakukan itu. Tapi aku harus mendapatkan dulu pemberian maafmu,” sekonyong-konyong tangannya meraih kepalaku dan memelukku erat-erat membuatku susah bernapas. Aku tenggelam dalam sesak aroma maskulin dadanya.<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 45pt"><span lang="FI">”Tidak,” bisikku berkeras. ”Aku nggak akan memaafkanmu, sampai kau mengembalikan kebahagiaan yang sudah terenggut bersama orang yang aku cintai.”<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 45pt"><span lang="FI">”Chita, <i>please</i>,” ucapnya memohon. ”Aku rela melakukan apa saja agar kau mau memaafkanku.”<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 45pt"><span lang="FI">”Nggak! Kau harus dihukum mati!”<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 45pt"><span lang="FI">”Kalau itu bisa membuatmu memaafkanku, aku mau...”<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 45pt"><span lang="FI">”Kamu? Kamu mau dihukum mati?”<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 45pt"><span lang="FI">Ia mengangguk. Sedikitpun tak ada keraguan di wajahnya. ”Apapun, asal kau mau memaafkanku.”<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 45pt"><span lang="FI">”Aku...,” keraguan seketika meruak dari sela hatiku. ”Oke... aku memaafkanmu, tapi dengan satu syarat...”<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 45pt"><span lang="FI">Ia menjauhkan wajahku sebentar. ”Apa?”<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 45pt"><span lang="FI">”Malam ini juga kau harus serahkan diri ke polisi.”<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 45pt"><span lang="FI">Ia kembali memelukku erat. ”Oh, terimakasih, Chita. Sekarang bebanku mulai berkurang. Aku akan segera menyerahkan diri...”<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 45pt"><span lang="FI">”Oke, oke, tapi lepaskan aku.”<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 45pt"><span lang="FI">”Oh, maaf,” ia segera mengembalikan wajahku ke letak semula dengan hati-hati sekali. <i>He’s so sweet</i>.<span style="font-size:0;"> </span>”Aku... aku juga minta maaf telah membuatmu takut tadi...”<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 45pt"><span lang="FI">Aku mengangkat dagu. ”Asal kau segera mengantarkan aku pulang, maafmu kuterima.”<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 45pt"><span lang="FI">”Oke, bos!” Ia segera menghidupkan mesin.<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 45pt"><span lang="FI">Dalam perjalanan kami lebih banyak terdiam. Tapi aku tahu, matanya sesekali melirikku (karena aku pun diam-diam meliriknya). Entahlah, perasaanku tiba-tiba gelisah. Aku tahu beberapa menit lagi ia akan segera ke kantor polisi untuk menyerahkan diri. Tapi sikapnya yang penuh perhatian dan pengakuannya yang tulus dan berani itu seperti menumbuhkan sesuatu yang tidak aku mengerti dalam diriku. <o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 45pt"><span lang="FI">Ia mengantarku sampai di depan pintu rumah. Dan ketika punggungnya menjauh, aku merasakan sepotong hatiku pun gugur <span style="font-size:100%;">dan lepas.<o:p></o:p></span></span></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 45pt"><span style="font-size:100%;"><span lang="FI">”Aku belum tahu namamu,” ucapku sedikit panik seperti akan kehilangan sesuatu.</span></span></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 45pt"><span style="font-size:100%;"><span lang="FI">Ia membalik dan tersenyum, senyum yang pasti membuat banyak wanita bertekuk lutut. ”Panggil aku Reza.” Dan tubuhnya pun menghilang dalam malam.</span></span></p>Sukma Wiehttp://www.blogger.com/profile/06477265542544056885noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7649079019217492997.post-48511501235340581102007-10-30T22:52:00.000-07:002007-11-07T07:29:31.130-08:00Mengapa Lebaran Selalu Indah, FEMINA No.40, September 2007<div style="TEXT-ALIGN: left"><a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEir5aoaFk99eHa3qoxn6W6cyUpTh5YC4ZAEK6d0g_QHkHLs08a5YM2Ht9greoZHaSAaahf2Dd07TxxkrZm3omlP6PeRLIeQ_M8l1eanH6lwkC5KTB4xoaq1-mI2K_KL_lUEcBKprHdjRBoV/s1600-h/200358616-001.jpg"><img id="BLOGGER_PHOTO_ID_5127375443904049922" style="FLOAT: left; MARGIN: 0pt 10px 10px 0pt; CURSOR: pointer" alt="" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEir5aoaFk99eHa3qoxn6W6cyUpTh5YC4ZAEK6d0g_QHkHLs08a5YM2Ht9greoZHaSAaahf2Dd07TxxkrZm3omlP6PeRLIeQ_M8l1eanH6lwkC5KTB4xoaq1-mI2K_KL_lUEcBKprHdjRBoV/s200/200358616-001.jpg" border="0" /></a><span style="font-size:18;"><span style="font-family:georgia;font-size:130%;"><span style="FONT-WEIGHT: bold; COLOR: rgb(255,102,102); FONT-STYLE: italic">Mengapa Lebaran Selalu Indah</span></span></span></div><div style="TEXT-ALIGN: left"><span style="font-size:100%;"><b><span style="color:#ff0000;">Cerpen: <i>Sukma Wie</i></span></b></span></div><p class="MsoNormal"><?xml:namespace prefix = o /><o:p></o:p></p><p class="MsoNormal"><b><br />Di r</b><b>uma</b><b>h S</b><b>asti<o:p></o:p></b></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 27pt"><span lang="FI">“Mbok</span><span lang="FI"> </span><span lang="FI">ya ditunda dulu <i>to</i> Sas, lamarannya…” rajuk ibu sambil mengiris kentang di meja dapur.<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 27pt">Sasti yang sedang memeriksa <i>cake</i> di dalam oven, segera mendongak. “Emang kenapa kalau sekarang?”</p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 27pt">“Ibumu ini belum siap ditinggal sendiri,” mulut wanita separuh baya itu makin manyun dan potongan-potongan kentangnya seperti sengaja ditekan-tekan.</p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 27pt">Sasti tersenyum menghampiri. Dari belakang tangannya langsung melingkar di pinggang wanita itu. <span lang="FI">“Kalau nggak sekarang, kapan lagi? Mau, ibu melihat putri semata wayangnya jadi perawan tua? Lagi pula Mas Fajar ‘kan sekalian silaturahmi bawa orangtuanya kemari. </span>Mumpung Lebaran…”</p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 27pt"><span lang="FI">Ibu tidak menyahut. Ia terus saja mengiris-iris kentang dengan perasaan kesal.<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 27pt"><span lang="FI">Sasti melanjutkan, “Dulu waktu Tante Audy minta saran Ibu untuk menikahkah putrinya, Ibu usulkan supaya lamarannya di hari Lebaran aja. Kata Ibu itu adalah hari penuh berkah. Hari baik. Lha, putrinya sendiri mau dilamar di hari Lebaran kok minta ditunda?”<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 27pt"><span lang="FI">“Itu ‘kan lain. Audy tidak bakalan sendirian kalau putrinya diboyong suami pergi.”<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 27pt"><span lang="FI">Sasti tersenyum sambil mengeratkan pelukannya. “Memangnya habis Lebaran Sasti langsung diboyong pergi?”<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 27pt"><span lang="FI">“Tapi ‘kan tinggal menghitung hari. Pokoknya makin lambat makin bagus. Biar acara mantennya juga makin lama.”<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 27pt"><span lang="FI">Kali ini Sasti tak dapat menahan tawa. </span>“Ibu lucu ih…”</p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 27pt"><span lang="FI">Ibu merangsek manja, mencoba melepaskan diri dari pelukan Sasti “Ibu memang badut.”<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 27pt">“Lho, kok Ibu ngomong gitu?”</p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 27pt">“Abis…kamu itu nggak sadar-sadar kalau Ibu sedih bakal kehilangan kamu.”</p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 27pt"><span lang="FI">“Ibu…” Sasti kembali merangkul ibunya. “Ibu nggak bakalan kehilangan Sasti. Sasti dan Mas Fajar akan rutin mengunjungi Ibu. Lagi pula kalau kesepian ‘kan Ibu bisa nyewa DVD.”<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 27pt"><span lang="FI">“Mana seru kalau nonton sendiri.”<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 27pt"><span lang="FI">“Makanya, Ibu jangan mau kalah dong sama Sasti. Ibu itu masih cantik lho. Pasti banyak laki-laki yang mau jadi suami Ibu. Bapak nggak usah dipikirin lagi deh. Udah lewat. Biarin aja dia senang-senang sama keluarga barunya. Dia aja nggak pernah mikirin Ibu.”<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 27pt"><span lang="FI">“Ih, siapa juga yang mikirin Bapakmu!”<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 27pt"><span lang="FI">“Hayo…yang tiap malam fotonya ditaruh di bawah bantal itu siapa?”<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 27pt"><span lang="FI">Tanpa terduga, sebuah senggukan terdengar sayup-sayup lalu makin lama makin jelas, bersamaan dengan terhentinya gerakan tangan Ibu mengiris kentang.<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 27pt">“Ibu…? Maafkan Sasti…”</p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 27pt"><span lang="FI">“Ibu belum bisa melupakan penghianatan Bapakmu.”<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 27pt"><span lang="FI">Sasti mengerti. Tidak mudah melupakan sakit hati dari sebuah cinta yang tak pernah mengenal lelah. Sasti menyaksikan sendiri bagaimana Ibu demikian patuh dan setia melayani Bapak. Bagaimana Ibu menaruh kepercayaan yang begitu besar pada pundak laki-laki itu. Namun, Sasti pula yang jadi saksi bagaimana sepotong hati hancur berkeping-keping ketika laki-laki itu pergi tanpa ampun meninggalkan Ibu. Awalnya Sasti pun tak bisa menerimanya, tapi waktu dan kesibukannya merangkai kisah cintanya sendiri di kampus lambat laun menghapus rasa sakit itu. Tidak seperti Ibu yang tetap menyimpan perasaan sakit yang meskipun senantiasa disembunyikannya namun selalu bisa dibaca oleh Sasti. Ya, sakit karena cinta adalah sakit yang tak ada obatnya. Kecuali oleh cinta itu sendiri.<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal"><span lang="FI"><o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-ALIGN: center" align="center"><span lang="FI">***<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal"><b><span lang="FI">Di rumah Fajar<o:p></o:p></span></b></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 27pt"><span lang="FI">“Ayolah, Pa. Lebaran kali ini Papa jangan ke mana-mana. Papa lamarin Sasti dong, sekalian silaturahmi sama keluarganya,” pinta Fajar begitu tahu ayahnya akan ke Kairo untuk urusan bisnis, seperti tahun-tahun lalu. Ia paham betul tabiat ayahnya yang sangat getol menyibukkan diri, bepergian ke sana kemari mengurusi bisnis-bisnisnya, sejak Ibu meninggal tiga tahun lalu.<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 27pt"><span lang="FI">“Tapi <i>schedule </i>Papa sangat padat dan ketat. <i>Partner</i> Papa bisa kabur kalau Papa nggak bisa bersikap profesional,” kilah ayahnya.<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 27pt"><span lang="FI">“Meskipun harus mengorbankan momen penting untuk anak Papa sendiri?”<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 27pt"><span lang="FI">“Fajar, kamu udah gede. Lamaran bisa ditunda kapan saja. Nggak harus sekarang-sekarang.”<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 27pt"><span lang="FI">“Tapi ini kesempatan, Pa. Lagipula Fajar udah janji ma Sasti dan keluarganya.”<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 27pt"><span lang="FI">“Itulah kamu suka bikin perjanjian sendiri tanpa melibatkan Papa.”<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 27pt"><span lang="FI">“Habis Papa sibuk melulu sih.”<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 27pt"><span lang="FI">“Kan hape Papa nggak pernah nggak diangkat kalau dari jagoan Papa. Kapan, coba, Papa nggak angkat?”<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 27pt"><span lang="FI">“Iya deh, Pa, sorry. Fajar yang salah. Tapi Papa bisa, kan, Lebaran besok ikut ke rumah Sasti? Pliiis, Pa, sekali ini saja.”<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 27pt"><span lang="FI">“Papa udah bilang itu bisa ditunda nanti-nanti. Nggak harus hari Lebaran.”<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 27pt"><span lang="FI">“Fajar tahu kenapa Papa selalu menghindari Lebaran di rumah.”<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 27pt"><span lang="FI">“Sok tahu kamu.”<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 27pt"><span lang="FI">“Papa ingin menghindari kenangan Lebaran bersama Mama, kan?”<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 27pt"><span lang="FI">“Sok tahu kamu, monyet kecil.”<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 27pt">“Iya <?xml:namespace prefix = st1 /><st1:place st="on"><st1:state st="on">kan</st1:state></st1:place>, Pa?”</p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 27pt">Papa terdiam. Lalu terdengar helaan napasnya yang berat berbarengan dengan pandangan kosongnya yang menembus ke luar jendela. <span lang="FI">Entah apa yang dipikirkan laki-laki itu, namun Fajar bisa meraba bayangan yang melela di pupil matanya. </span>Ya, bayangan seraut wanita cantik di usianya yang hampir limapuluh. Senyum yang menawan dibalut kerudung lembut, selembut hatinya. Laki-laki mana yang takkan terpatri pada hati seindah itu? Fajar malah sempat berpikir bahwa dia tidak akan menikahi wanita kecuali wanita itu menyerupai bundanya. <span lang="FI">Wanita yang setia, lembut, menyejukkan, dan sangat mengerti segala hal mengenai suami dan anaknya. Kasihnya yang demikian besar melampaui batas segala pamrih. <o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 27pt"><span lang="FI">Namun cepat disadarinya bahwa pikiran itu kurang bijaksana, karena tak mungkin ada dua orang yang serupa persis di dunia ini. Hingga akhirnya hadir Sasti dalam hidupnya, yang menyodorkan pandangan baru tentang wanita ideal untuk dijadikan pendamping hidup. Dengan segala kekhasan sifatnya, Sasti mampu mengisi celah kosong di sisi hatinya. Gadis itu sangat spontan, apa adanya, lucu, kadang manja, tapi juga dapat bersikap dewasa. Yang pasti, satu hal yang membuatnya mantap dengan keputusannya, adalah bahwa wanita itu selalu membuatnya nyaman berada di sisinya. Ia ingat ucapan papanya suatu hari, “Kamu hanya perlu mencari wanita yang membuatmu nyaman dan percaya diri berada di dekatnya. Itulah syurga!”<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 27pt"><span lang="FI">Hmmm...namun ’syurga’ Papa sendiri telah tiada. Kanker rahim telah membawanya terbang ke syurga harfiah. Wanita syurga memang kadang hanya bisa ditemui sekali dalam hidup. Kecuali Tuhan berbaik hati menawarinya lagi.<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal"><span lang="FI"><o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-ALIGN: center" align="center"><span lang="FI">***<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 27pt"><span lang="FI">Sedan hitam mengkilap itu berhenti tepat di depan sebuah rumah bercat putih kehijauan dengan halaman yang asri penuh tanaman hias. </span>Pak Hariansyah keluar setelah dibukakan pintu oleh sopir, disusul putranya Fajar. <span lang="FI">Kali ini laki-laki itu tampak sangat tampan dengan kemeja batik coklat terang. Keduanya berjalan masuk ke halaman, dengan langkah penuh percaya diri. Pak Hariansyah berkali-kali melirik anggrek bulan berwarna ungu di pojok halaman. Anggrek itu sedang mekar dan sangat menawan tertimpa cahaya lembut matahari. <o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 27pt"><span lang="FI">Setelah mengetuk pintu sesaat, keduanya kemudian disambut ramah oleh Sasti yang siang itu mengenakan gaun terusan dari bahan satin berwarna hijau pupus, dengan kerudung lepas berwarna senada. Fajar tak henti-hentinya memandangnya kagum.<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 27pt">“Minal aidin wal faidzin,” sambut Sasti hangat sambil mencium tangan Pak Hariansyah yang membalasnya dengan mengusap hangat kepalanya. Meskipun baru beberapa kali bertemu laki-laki itu, namun karena sikap Sasti yang supel membuat laki-laki itu cepat terpikat dan akrab dengannya. “Bentar yah, Sasti panggilin Ibu.”</p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 27pt"><span style="font-size:0;"></span>Tapi belum lagi Sasti beringsut ke belakang, sekonyong-konyong sesosok wanita separuh baya dengan dandanan cantik keluar dan langsung disambut hormat oleh Fajar.</p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 27pt">“Tante, minal aidin wal faidzin…maaf terlambat dikit.”</p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 27pt">“Oh nggak apa-apa… aduh, minumannya belum siap ya,” baru saja langkahnya hendak memutar kembali, tahu-tahu wajahnya berubah pias. <span lang="FI">“Kamu?!” tudingnya tiba-tiba pada laki-laki separuh baya di ruangan itu yang tak kalah pias pula wajahnya.<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 27pt">“Janna! Rupanya kau!” balas Pak Hariansyah.</p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 27pt">Sasti dan Fajar memandang keduanya bergantian dengan pandangan melongo, tak mengerti.</p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 27pt"><span lang="FI">“Jadi selama ini anak kita saling berhubungan?! Oh, tidak!” serta-merta wanita yang dipanggil Janna yang tak lain adalah ibu Sasti itu menarik lengan Sasti seperti ingin menjauhkannya dari Fajar.<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 27pt"><span lang="FI">“Kamu pikir aku pun akan setuju anakku berhubungan dengan anak wanita penghianat sepertimu?!”<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 27pt"><span lang="FI">“Kaulah yang penghianat! Kaulah yang tak tahu malu!” suara Janna melengking.<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 27pt"><span lang="FI">“Mana yang lebih berkhianat, aku atau kamu yang dengan entengnya mau dijodohkan dengan laki-laki lain?!”<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 27pt"><span lang="FI">“Keluarr!!!!” usir Janna dengan mata menyala.<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 27pt">“Janna,” ucap Pak Hariansyah dengan mata yang tak kalah nyala. “Sampai kapan pun aku tidak akan pernah lupakan penghianatanmu!” lalu ditariknya lengan Fajar seperti menarik lengan anak kecil untuk keluar dari ruangan itu.</p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 27pt">“Pah,” cegat Fajar masih bingung. “<st1:place st="on"><st1:city st="on">Ada</st1:city></st1:place> apa sih sebetulnya?”</p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 27pt">“Sudah, Jar, lebih baik kita jauhi keluarga terkutuk ini.”</p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 27pt">“Fajar nggak mau pergi sebelum segalanya jelas.”</p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 27pt">“Fajar!!!” suara Pak Hariansyah tiba-tiba meledak.</p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 27pt">Fajar kaget mendengarnya. Seumur-umur, semarah-marahnya ayahnya, belum pernah didengarnya suara semarah itu. Fajar menoleh ke Sasti yang juga sedang bertanya bingung ke ibunya.</p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 27pt"><span lang="FI">“Laki-laki itu telah menghianati Ibu. Kau tidak pantas memiliki keturunannya. Buah pasti jatuh tidak jauh dari pohonnya,” jelas Bu Janna.<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 27pt">“Maksud Ibu, bapaknya Fajar mantan pacar Ibu?”</p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 27pt">“Ibu kira kamu bukan anak kecil lagi yang tidak bisa menangkap maksud Ibu.”</p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 27pt">“Tapi…tapi…Sasti nggak ngerti, kok…malah Ibu yang dituduh berkhianat..?”</p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 27pt"><span lang="FI">“Karena Ibu menerima perjodohan dengan Bapakmu.”<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 27pt"><span lang="FI">“Berarti Ibulah yang salah.”<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 27pt"><span lang="FI">“Ibu lakukan itu untuk membalas penghianatannya. Dia memacari sahabat Ibu di belakang Ibu.”<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 27pt"><span lang="FI">Sasti ternganga. </span>Refleks pandangannya melompat ke beranda. <span lang="FI">Kedua laki-laki itu rupanya sudah berjalan menuju ke luar halaman. Sasti memburunya ke pintu.<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 27pt">“Jar!” panggil Sasti.</p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 27pt">Fajar yang sedang berjalan di belakang ayahnya menoleh.</p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 27pt"><span lang="FI">“Sasti!”<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 27pt"><span lang="FI">Tapi baik Sasti maupun Fajar masing-masing segera ditarik menjauh. Mereka pun hanya bisa saling memandang dari jauh sampai Fajar dan ayahnya masuk ke mobil dan meluncur pergi.<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 27pt"><span lang="FI"><o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 27pt; TEXT-ALIGN: center" align="center">***</p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 27pt">Nada dering khusus panggilan dari Fajar terdengar mengalun. <i>Atas Nama Cinta</i>-nya Rossa. Sasti segera menyahutnya.</p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 27pt">“Rupanya mereka punya <i>story</i> di masa lalu, dan meninggalkan kebencian yang tak pupus di makan waktu,” ucap Fajar langsung.</p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 27pt"><span lang="FI">“Ya,” sahut Sasti. “Kau tahu kenapa ibuku menerima perjodohan itu?”<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 27pt"><span lang="FI">“Kenapa?”<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 27pt"><span lang="FI">“Karena ayahmu memacari sahabat ibuku.”<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 27pt">“Ayahku bilang itu nggak benar. Waktu itu ibumu emosi, nggak konfirmasi dulu langsung percaya aja omongan orang-orang. Buktinya, ayahku menikahi wanita lain, bukan sahabat ibumu. Fitnah itu sengaja dihembuskan oleh orang-orang yang iri dan ingin memisahkan ibumu dan ayahku.”</p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 27pt"><span lang="FI">“Kalau begitu…ada salah paham. Sebaiknya ini aku jelaskan pada Ibu.”<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 27pt"><span lang="FI"><o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 27pt; TEXT-ALIGN: center" align="center">***</p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 27pt">Beberapa jam kemudian.</p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 27pt">“Jar, Ibu mengaku sudah tahu lama tentang fitnah itu, tapi Ibu nggak yakin, makanya dia tetap tak mau menerima ayahmu.”</p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 27pt"><span lang="FI">“Atau… dia merasa bersalah karena keburu emosi menerima perjodohan itu?”<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 27pt"><span lang="FI">“Bisa jadi. Tapi Ibu terlalu angkuh untuk mengakuinya.”<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 27pt"><span lang="FI">“Dan ayahku pun terlalu angkuh untuk memaafkan.”<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 27pt"><span lang="FI">“Hmmm… kalau begitu, aku punya akal.”<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 27pt"><span lang="FI"><o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 27pt; TEXT-ALIGN: center" align="center"><span lang="FI">***<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 27pt"><span lang="FI">“Udaah… ngapain sedih mikirin laki-laki itu. Masih banyak laki-laki lain dari keturunan baik-baik,” hibur Bu Janna melihat putrinya terus dirundung sedih.<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 27pt"><span lang="FI">“Sasti bukan mikirin Fajar, Bu. </span>Tapi Pak Hariansyah, ayahnya Fajar.”</p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 27pt"><span lang="FI">“Huh, apa lagi dia! Kenapa sih musti mikirin…”<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 27pt"><span lang="FI">“Dia sedang koma, Bu. Jantungan.”<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 27pt"><span lang="FI">“Biar <i>koit</i> aja sekalian.”<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 27pt"><span lang="FI">“Ibu…”<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 27pt"><span lang="FI">Bu Janna menarik napas dalam. Lalu beringsut masuk ke kamar.<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 27pt"><span lang="FI"><o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 27pt; TEXT-ALIGN: center" align="center">***</p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 27pt"><span lang="FI">“Ibu nangis?” heran Sasti ketika menyusul masuk ke kamar ibunya.<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 27pt"><span lang="FI">“Ibu bingung, Sasti. Ibu benci banget pada laki-laki itu, tapi sejak melihatnya lagi kemarin, entah mengapa seperti ada sesuatu dalam diri Ibu yang Ibu nggak ngerti. </span>Dan sekarang laki-laki itu sedang sekarat. Ibu bingung…”</p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 27pt"><span lang="FI">Dalam hati Sasti tersenyum. “Kalau memang Ibu merasa perlu minta maaf dan mau maapin juga, kenapa kita nggak ke tempatnya aja sekarang?”<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 27pt">“Apa itu tidak membuatnya merasa diri benar?”</p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 27pt">“Memang dia benar, <st1:place st="on"><st1:state st="on">kan</st1:state></st1:place>?”</p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 27pt">Wanita itu terdiam. “Yah, Ibu yang salah. Waktu itu Ibu keburu emosi.”</p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 27pt"><span lang="FI">“Tapi masih ada waktu kok, Bu.”<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 27pt"><span lang="FI">“Apa dia mau memaafkan Ibu?”<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 27pt"><span lang="FI">“Memaafkan sih iya, mungkin. Tapi kalau menerima cinta Ibu lagi seperti dulu, mmmm, nggak janji deh!”<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 27pt"><span lang="FI">Serta-merta jari-jari keriput wanita itu meluncur ke pinggang Sasti, mencubitnya. </span>Wajah wanita itu tampak bersemu merah.</p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 27pt"><o:p></o:p></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 27pt; TEXT-ALIGN: center" align="center">***</p><p class="MsoNormal"><b>Di rumah sakit</b>.</p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 27pt">Derap tapak sepatu terdengar berirama cepat menghampiri sebuah ruang ICU di lantai <st1:place st="on"><st1:city st="on">lima</st1:city></st1:place> sebuah rumah sakit mewah. Pemiliknya adalah dua orang wanita dengan wajah salah satunya tampak dibalur cemas.</p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 27pt">Sementara dari arah berlawanan, terdengar pula derap tapak sepatu berirama tak kalah cepat menuju ruang ICU yang sama. Pemiliknya adalah dua orang pria dengan wajah salah satunya tak kalah cemas.</p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 27pt"><span lang="FI">Mereka bertemu tepat di depan pintu ruang ICU tersebut.<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 27pt"><span lang="FI">“Janna?”<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 27pt"><span lang="FI">“Mas Har?”<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 27pt"><span lang="FI">Keduanya saling berpandangan lama, takjub –antara rasa tak percaya, rasa gemas menyadari telah dikerjain anak mereka, dan rasa rindu yang membuncah di dada– sebelum akhirnya berbaur dalam pelukan. <o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 27pt"><span lang="FI">“Maafkan aku, Mas.”<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 27pt"><span lang="FI">“Aku juga.”<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 27pt"><span lang="FI">Hmmm... Itulah mengapa Lebaran selalu indah. Segala benci dan dendam luruh, tergantikan kebahagiaan yang menyatu. Saking larutnya, mereka sampai lupa kalau kedua anak mereka sedang menyaksikan dengan tersenyum-senyum.<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 27pt"><span lang="FI">“Jadi gimana, Bu, lamaran Fajar diterima dong?” senyum Sasti sambil melirik mesra sang pujaan hati di sampingnya.<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 27pt">“Hmmm,” Bu Janna berlagak mikir-mikir sambil melirik tak kalah mesra pada laki-laki di sampingnya yang balas memandangnya pula dengan mesra. “Kayaknya ntar-ntar dulu deh jawabannya,” ucap wanita itu dengan suara genit.</p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 27pt"><span lang="FI">“Lho, kan tadi udah saling maapan,” protes Fajar.<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 27pt">“Iya, Bu, apa lagi sih yang ditunggu?”sungut Sasti.</p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 27pt">“Tunggu sampai ada yang melamar Ibu dulu."</p><p class="MsoNormal" style="TEXT-INDENT: 27pt">"Ha???”</p>Sukma Wiehttp://www.blogger.com/profile/06477265542544056885noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7649079019217492997.post-87034944419097500982007-10-30T22:39:00.001-07:002007-11-07T07:06:02.112-08:00Ketika Petang Ini Aku Bertemu Janna, CHIC, March 2007<p style="text-align: left;" class="MsoNormal"><a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjKobXtWU7clbgpZu53ZjgbIkCYFxhIO4w1YfQPO46Py9TYca_0ldQUXyXWl_4hWoDxCGLqoaclicAxeH_kwYRaq8GEoojhHq7lkHvYLDv0-gO8y4s6fss5P82w3nGW6KsCattkVyAzOJvv/s1600-h/200284912-001.jpg"><img style="margin: 0pt 10px 10px 0pt; float: left; cursor: pointer;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjKobXtWU7clbgpZu53ZjgbIkCYFxhIO4w1YfQPO46Py9TYca_0ldQUXyXWl_4hWoDxCGLqoaclicAxeH_kwYRaq8GEoojhHq7lkHvYLDv0-gO8y4s6fss5P82w3nGW6KsCattkVyAzOJvv/s200/200284912-001.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5127372403067204322" border="0" /></a><b style=""><span style=";font-family:Arial;font-size:22;" ><span style="font-style: italic; color: rgb(102, 0, 204);font-size:130%;" >Ketika Petang Ini Aku Bertemu Janna</span><o:p></o:p></span></b></p><div style="text-align: left;"> </div><p style="text-align: left;" class="MsoNormal"><b style=""><span style="font-family:Arial;"><span style="color: rgb(51, 51, 255);font-size:100%;" >Cerpen:<i style=""> Sukma Wie</i></span><o:p></o:p></span></b></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt;"><span style="font-family:Arial;"><o:p><br /></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt;"><span style="font-family:Arial;">A</span><span style="font-family:Arial;">ku</span><span style="font-family:Arial;"> sudah hampir memutar tumit ke arah Metro ketika sebuah pekikan mengerem langkahku t</span><span style="font-family:Arial;">iba-tiba.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt;"><span style="font-family:Arial;">“Est</span><span style="font-family:Arial;">heeer…!”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt;"><span style="font-family:Arial;">Dan tubuh tinggi semampai itu telah tegak di hadapanku. Tersenyum lebar dengan tangan terbuka. </span><span style="font-family:Arial;">Dan aku nyaris tak percaya dengan penglihatanku.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt;"><span style="font-family:Arial;">“Janna?”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt;"><span style="font-family:Arial;">Wajah coklat manis itu mengangguk. “Ya, aku Janna. Awas kalau kamu sudah lupa!”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt;"><span style="font-family:Arial;">“Astaga, Janna. Bagaimana mungkin kita bisa bertemu di sini?”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt;"><span style="font-family:Arial;">“Tapi kita sudah bertemu di sini, <st1:place st="on"><st1:state st="on">kan</st1:state></st1:place>?”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt;"><span style="font-family:Arial;">Dan kami pun berpelukan erat. Sebuah pelukan yang kurasakan ganjil setelah berpuluh-puluh musim.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt;"><span style="font-family:Arial;">“Aku benar-benar surprise, Jan,” kataku jujur setelah kami saling melepaskan pelukan. Ya, betapa tidak? Terakhir aku melihatnya masih di <st1:city st="on">kota</st1:city> kecil Bau-bau, Buton pulau penghasil aspal nun jauh di timur <st1:place st="on"><st1:city st="on">sana</st1:city></st1:place>. Dan sekarang kami bertemu di <st1:place st="on"><st1:city st="on">kota</st1:city></st1:place> megapolitan ini.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt;"><span style="font-family:Arial;">“Kamu pikir aku tidak merasa surprise? Bayangkan, Te, sepuluh tahun? Duapuluh tahun? Dan kamu masih seperti dulu: langsing dan cantik! Apa sih rahasianya?”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt;"><span style="font-family:Arial;">“Ah, bisa aja kamu,” kataku agak tersipu, apalagi pada saat ia mengatakan itu beberapa anak muda keren-keren terpancing untuk ikut menyaksikan ‘pertunjukan’ kami. Saat itu kami memang sedang berada di UG Mall Taman Anggrek bagian selatan, tepat di depan elevator Metro. Sebuah tempat yang lumayan ramai lalu lalang. Tapi seperti dulu-dulu, Janna (dan aku) selalu tak ambil pusing sekeliling. Kami terus saja larut dalam ketakterdugaan yang asyik (dan aneh).<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt;"><span style="font-family:Arial;">“Aku berkata jujur kok,” ucap Janna dengan mimik sungguh-sungguhnya yang khas, “dan tulus.” Ia tersenyum. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt;"><span style="font-family:Arial;">Aku ikut tersenyum. “Aku tahu. Tapi aku juga ingin berkata jujur dan tulus kalau kamu tambah cantik dan bikin pangling! Tahu nggak, tadi itu hampir-hampir aku tak kenal kamu.”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt;"><span style="font-family:Arial;">“Ah, bisa aja kamu,” kini giliran dialah yang tersipu. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt;"><span style="font-family:Arial;">“Eh, cari tempat asyik yuk! Di bawah ada Starbucks,” ajakku kemudian.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt;"><span style="font-family:Arial;">“Okey!” sahutnya penuh semangat. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt;"><span style="font-family:Arial;">Dan kami pun segera turun sebelum satpam mengusir kami.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt;"><span style="font-family:Arial;"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: center; text-indent: 36pt;" align="center"><span style="font-family:Arial;">***<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt;"><span style="font-family:Arial;"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt;"><span style="font-family:Arial;">Sudah berapa lama ya kami tidak berjumpa? Sepuluh tahun? Ah… rasanya lebih. Sejak tamat SMA dan kami melanjutkan kuliah di <st1:city st="on"><st1:place st="on">kota</st1:place></st1:city> yang berbeda, sejak itu kami tidak pernah lagi berkomunikasi. Janna benar-benar seperti disapu angin. Lenyap begitu saja. Dan baginya aku pun mungkin begitu. Lenyap tak berjejak. Aku (dan mungkin juga ia) kemudian seperti merasa tidak perlu untuk saling mencari tahu kabar masing-masing. Apalagi untuk saling mengingat satu sama lain. Kesibukan baru di lingkungan baru dan kampus baru terasa lebih mengasyikkan. Dan lagi pula, buat apa harus diingat? Tak ada sesuatu yang menarik yang dapat memaksa kami untuk saling mengingat satu sama lain selain persaingan diam-diam dan perang dingin yang terus meronai pertemanan kami!<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt;"><span style="font-family:Arial;">Aku ingat ketika Janna terpilih jadi bendahara OSIS dan aku cuma wakil sekretaris yang terpaksa harus bersyukur dapat tempat di belakang Murtaba yang terpilih jadi sekretaris. Betapa bangganya ia! Seolah-olah ia baru saja dapat satu skor tambahan setelah beberapa hari lalu ia harus menelan kepahitan karena aku berhasil melampauinya sebagai juara kelas ranking pertama. Berhari-hari ia tunjukkan sikap pongahnya dengan berjual mahal setiap kali aku atau teman-teman pengurus lain butuh duit untuk kegiatan ini-itu. Tapi itu tidak berlangsung lama. Karena beberapa bulan kemudian, namaku kembali berkumandang di lapangan upacara sebagai pemenang sayembara mengarang. Ia kembali gelisah. Tapi kegelisahannya ternyata cuma sebentar. Ketika ada pemilihan utusan Paskibraka yang akan dikirim ke Istana Negara mewakili provinsi, ialah yang terpilih berpasangan dengan Umul yang tingginya memang sepadan. Tapi pada saat yang hampir bersamaan aku juga terpilih jadi finalis Lomba Karya Ilmiah Remaja dan membawa harum nama sekolah ke pentas nasional. Begitu terus. Kami saling bersaing dan tak mau kalah satu sama lain. Menunjukkan kelemahan apalagi kekurangan adalah pantangan besar yang bisa berakibat dosa tujuh turunan. Alhasil, hari-hari kami terus diwarnai ketegangan dan teror perang dingin yang tak habis-habis. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt;"><span style="font-family:Arial;">Aku lupa persisnya sejak kapan ajang perang itu digelar. Yang teringat cuma sebuah insiden kecil di ruang laboratorium bahasa. Ya, apa lagi kalau bukan masalah cinta! Ia yang semua orang tahu menyimpan perasaan pada Ekky, tiba-tiba memergokiku sedang berdua cowok itu membahas materi yang baru disampaikan tutor tamu dari luar. Dan aku tidak bisa menolak pesona yang ditebarkan Ekky saat berdekatan. Cowok itu terlalu menarik untuk dihindari. Dan rupanya aku tidak bertepuk sebelah tangan. “Sudah lama aku memperhatikan kamu,” kata Ekky terbuka. “Dan baru sekarang aku bisa dekat-dekat. Kau tahu betapa senangnya aku!” dan selanjutnya tak perlu direka-reka lagi. Karena Ekky benar-benar cowok sejati yang takkan membiarkan cewek yang disukainya lepas dari jangkauannya. Dan tak perlu direka-reka pula apa akibat yang harus kami telan. Janna seperti orang kesurupan melihat kedekatan kami. Hari demi hari kemudian seperti ada peraturan tak tampak yang mengharuskan kami menggelar persaingan diam-diam!<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt;"><span style="font-family:Arial;">Kupikir, ya, sejak itulah perang dingin itu tergelar hingga… mungkin, hingga kini.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt;"><span style="font-family:Arial;">Janna sudah hampir separuh cangkir menyeruput caffe latte-nya. Sedangkan aku lebih banyak menghabiskan cake-nya yang lezat.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt;"><span style="font-family:Arial;">“Gimana, udah punya buntut berapa sekarang? Jangan bilang kamu belum kawin-kawin di usiamu setante-tante ini!” tanyanya sambil bergurau.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt;"><span style="font-family:Arial;">“Aku?” aku mengangkat wajah dengan perasaan terkejut yang diam-diam kusembunyikan. Harus bagaimanakah kuceritakan padanya? Aku, Esther yang jagoan KIR, jagoan mengarang, jagoan bulutangkis, dan selalu langganan ranking satu di kelas ternyata cuma memiliki lahan yang gersang dan tak bisa ditanami apa-apa? Tujuh tahun Mas Bondan, suamiku bekerja keras banting tulang setiap hari menyirami dengan setia tanaman cinta yang ditanamnya, tapi selalu saja berakhir dengan kesia-siaan. Lahan garapan itu benar-benar tak layak tanam alias tidak subur alias mandul! Tentu saja Mas Bondan kecewa. Siapa sih petani yang tak kecewa kalau setelah mengupayakan segala daya untuk menyuburkan lahan garapannya, ternyata tak membuahkan hasil apa-apa? Boro-boro membayangkan hasil buahnya yang sehat-sehat, ranum dan menggemaskan! Tapi Mas Bondan memang petani yang sabar dan setia…<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt;"><span style="font-family:Arial;">“Te, kau dengar aku, <st1:state st="on"><st1:place st="on">kan</st1:place></st1:state>?” Janna menyentuh lenganku karena pertanyaannya belum kujawab.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt;"><span style="font-family:Arial;">“Ya, tentu. Masa’ aku belum kawin! Apa aku ada potongan?” kataku tertawa dengan otot punggung yang dingin dan menegang tiba-tiba. “Bahkan sekarang aku sedang bahagia-bahagianya dengan Mas Bondan karena syukur alhamdulillah di usia perkawinan kami yang ketujuh kami sudah dikaruniai tiga malaikat kecil yang lucu-lucu. Mas Bondan memang petani yang tangguh!”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt;"><span style="font-family:Arial;">“Masa’?” Janna membelalak girang. “Wah… pasti lucu sekali!”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt;"><span style="font-family:Arial;">“Kamu sendiri bagaimana?” ya, aku ingin tahu ‘kehebatan’ perempuan ini. Sudah sejauh mana ia melampauiku dalam sepuluh tahun terakhir ini!<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt;"><span style="font-family:Arial;">“Aku baru menikah dengan Murtaba tiga tahun lalu, dan kami menetap di <st1:place st="on">Makassar</st1:place> karena Murtaba menjadi dosen di Unhas.”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt;"><span style="font-family:Arial;">“Murtaba? Astaga, Murtaba yang sekretaris dan si seksi sibuk itu, <st1:state st="on"><st1:place st="on">kan</st1:place></st1:state>?”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt;"><span style="font-family:Arial;">“Kau pikir ada Murtaba yang lain? Tapi benar lho, dia benar-benar seksi abis,” Janna tak sanggup menyembunyikan rona merah di wajahnya.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt;"><span style="font-family:Arial;">“Ah, seperti apa dia sekarang?”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt;"><span style="font-family:Arial;">“Kau takkan percaya. Dia sudah bermetamorfosa menjadi pangeran impian ketika kami bertemu pertama kali setelah perpisahan itu. Belakangan aku tahu ternyata ia sibuk menambal sana-sini kekurangannya dengan upaya penuh semangat. Dan hasilnya aku sudah rasakan, memang benar-benar hebat! Bahkan setelah tiga tahun pernikahan kami pun, tubuhnya tetap atletis dan kuat seperti pria-pria Men’s Health. Makanya aku pun tak mau kalah usaha…”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt;"><span style="font-family:Arial;">“Pantas kau makin cantik,” kataku jujur. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt;"><span style="font-family:Arial;">“Ah, bisa aja kamu,” ia kembali tersipu. “Kamu juga, pasti pria bernama Bondan itu hebat sekali karena telah membuatmu menjaga tubuh tetap seseksi dulu. Atau ini karena pengaruh ‘olahraga’ kalian yang selalu penuh vitalitas dan memuaskan?” ia mengikik geli.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt;"><span style="font-family:Arial;">“Ah, bisa aja kamu,” giliran akulah yang tersipu. Tapi kali ini ia tak salah. Aksi-aksi Mas Bondan memang selalu hebat di atas ranjang dan kami selalu merasa puas bersama setelahnya. Sayang… “Ohya, sudah berapa lama kamu tiba di <st1:city st="on"><st1:place st="on">Jakarta</st1:place></st1:city>?” tiba-tiba aku sadar.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt;"><span style="font-family:Arial;">“Baru seminggu.”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt;"><span style="font-family:Arial;">“Seminggu? Wah, pasti ada urusan penting sampai selama itu. Murtaba ikut juga?”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt;"><span style="font-family:Arial;">“Dia cuma mengantar, lalu balik lagi setelah dua hari.”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt;"><span style="font-family:Arial;">“Hati-hati lho di <st1:city st="on"><st1:place st="on">Jakarta</st1:place></st1:city> kalau kelamaan berjauh-jauhan,” godaku.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt;"><span style="font-family:Arial;">“Emang kenapa?”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt;"><span style="font-family:Arial;">“Banyak serigala berbulu kucing!”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt;"><span style="font-family:Arial;">Kami tertawa bersama.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt;"><span style="font-family:Arial;">“Lalu dalam rangka apa berlama-lama di <st1:city st="on"><st1:place st="on">Jakarta</st1:place></st1:city>?” tanyaku kembali.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt;"><span style="font-family:Arial;">“Memangnya tidak boleh aku berlama-lama di ibukota yang aku pun turut membiayai perkembangannya dari pajak yang kusetor setiap tahun?”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt;"><span style="font-family:Arial;">“Serius nih, Jan.”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt;"><span style="font-family:Arial;">“Oh, aku cuma jalan-jalan kok,” ucapnya sedikit agak kikuk.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt;"><span style="font-family:Arial;">“Dan kau meninggalkan pekerjaanmu? Awas jangan bilang Janna yang aktivis itu sekarang menjadi salah satu dari empatpuluh juta orang yang bikin pemerintah pusing putar otak.”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt;"><span style="font-family:Arial;">Ia tertawa. “Nggaklah. Aku kerja di <i style="">trading company</i>, ekspor-impor, dan sekarang ambil cuti. Sebulan.”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt;"><span style="font-family:Arial;">“Wow! Tahan kau selama itu jauh dari belaian Murtaba? Atau jangan-jangan malah dia yang nggak tahan lantas….”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt;"><span style="font-family:Arial;">“Ih jangan macam-macam kamu! Murtaba bukan tipe pria seperti itu. Lagian dua hari lagi aku sudah balik kok. Aku selalu mikirin tak ada yang bisa mengurus anak-anak sebaik aku.”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt;"><span style="font-family:Arial;">“Anak-anak atau bapaknya?” godaku lagi.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt;"><span style="font-family:Arial;">“Terlebih bapaknya!”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt;"><span style="font-family:Arial;">Kami kembali tertawa bersama.<span style=""> </span><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt;"><span style="font-family:Arial;">Tak terasa dua jam lebih kami telah menghabiskan waktu dengan mengobrol. Dan waktu maghrib sebentar lagi tiba. Kami lalu bertukar nomor hp untuk memudahkan komunikasi selanjutnya.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt;"><span style="font-family:Arial;">“Boleh ‘<st1:state st="on"><st1:place st="on">kan</st1:place></st1:state> aku membajak waktumu sebentar-sebentar mumpung aku lagi di sini?” kata Janna sambil berdiri.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt;"><span style="font-family:Arial;">Aku tersenyum mengangguk. “Kau tahu, bekerja di <i style="">advertising</i> seperti bekerja di rumah sendiri. Bebas menentukan kapan kau ingin lepas dari rutinitas, apalagi sekarang ini kantorku sedang mengalami krisis kepercayaan terhadap manajemen. Mungkin sebentar lagi akan ada demo.”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt;"><span style="font-family:Arial;">“Lho, kenapa?”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt;"><span style="font-family:Arial;">“Skandal di mana-mana!”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt;"><span style="font-family:Arial;">Ia tertawa mengerti, lalu kami pun berpisah setelah saling menempelkan pipi di kiri dan kanan.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt;"><span style="font-family:Arial;"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: center; text-indent: 36pt;" align="center"><span style="font-family:Arial;">***<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt;"><span style="font-family:Arial;"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt;"><span style="font-family:Arial;">Malam harinya, aku terkejut dan penasaran menerima sms dari Janna. <i style="">Kamu menang, Te. Kamu bahagia dan sukses.</i><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt;"><span style="font-family:Arial;">Lho, apaan nih?<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt;"><span style="font-family:Arial;">Buru-buru aku meneleponnya. “<st1:city st="on"><st1:place st="on">Ada</st1:place></st1:city> apa, Jan? Kok kesannya melankolis gitu.”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt;"><span style="font-family:Arial;">Tanpa kuduga suara serak Janna yang kudengar. “Maafkan aku, Te. Aku tidak jujur kepadamu. Rupanya hawa perang dingin yang dulu pernah menghinggapi kita masih menerpa. Aku tiba-tiba terdorong untuk tidak terbuka tentang apa yang sedang aku hadapi kini, karena takut akan menjadi rendah dan tak bernilai di matamu.”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt;"><span style="font-family:Arial;">Aku tergugu. Jadi dia juga berbohong. Bukan cuma aku! Masya Allah, apa-apaan nih? Kami sudah kepala tiga, tapi sikap kok masih kayak abege-abege kurang kerjaan?<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt;"><span style="font-family:Arial;">Aku di ambang ragu apakah perlu berterus terang pula tentang kebohonganku atau kusimpan saja biar aku dan Tuhan saja yang tahu. Tapi bagaimana kalau dia tahu bahwa aku pun ternyata tidak lebih baik darinya? Bagaimana pandangannya? Menghinaku? Melecehkanku? Memandangku sebelah mata? Rasanya aku tidak sanggup. Aura masa lalu itu masih kuat mencengkeramku. Tapi… kalau dia saja bisa bersikap jujur, mengapa aku tidak?<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt;"><span style="font-family:Arial;">“Te… kau masih di situ?” sentaknya tiba-tiba.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt;"><span style="font-family:Arial;">“Ya, ya, aku masih mendengarkanmu, Jan.”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt;"><span style="font-family:Arial;">“Terus terang, aku ke sini tidak cuma sekadar jalan-jalan. Bahkan Murtaba ikut ambil cuti untuk menemaniku sebulan di Rumah Sakit Dharmais.”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt;"><span style="font-family:Arial;">“Memangnya… ada apa?” hatiku mulai dijalari perasaan tak enak.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt;"><span style="font-family:Arial;">“Payudaraku, Te…” suara Janna terdengar makin serak dan menjauh.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt;"><span style="font-family:Arial;">“Kamu…,” tiba-tiba lidahku kelu, “…kanker?”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt;"><span style="font-family:Arial;">“Dan sebentar lagi dadaku akan rata…”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt;"><span style="font-family:Arial;">“Oh <i style="">my God</i>,” begitu saja seruan itu meluncur dari bibirku, nyaris tak percaya. Janna yang cantik. Janna yang berbodi nyaris sempurna. Janna yang periang dan penuh semangat. Janna yang selalu percaya diri dengan segudang prestasi dan aktivitasnya. Sekarang menjelma jadi Janna yang <st1:city st="on"><st1:place st="on">malang</st1:place></st1:city> dengan dada rata tak ubahnya laki-laki. Bahkan laki-laki atletis saja masih menonjolkan dadanya yang berotot. Berarti kondisi Janna akan lebih mengenaskan dari laki-laki. Padahal siapapun tahu kalau payudara yang menonjol adalah salah satu identitas mutlak seorang perempuan. Tanpa payudara, dibilang apa perempuan itu? “Aku harap kamu bisa tabah menerimanya, Jan.”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt;"><span style="font-family:Arial;">“Yah… itulah yang kulakukan setiap detik sekarang ini. Berusaha mengumpulkan remah-remah ketabahan yang berceceran. Aku hampir nggak kuat, Te!”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt;"><span style="font-family:Arial;">“Aku yakin kamu kuat. Aku tahu siapa Janna. Seorang perempuan yang tak pernah kenal kata menyerah, bahkan tak pernah mau disaingi.”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt;"><span style="font-family:Arial;">“Tapi sekarang aku kalah, Te. Kamu menang….” Suaranya kembali menjauh dan asing.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt;"><span style="font-family:Arial;">Ups! Aku baru sadar kalau aku telah kelepasan mengungkit kembali kenangan masa lalu itu di saat sensitif begini. “Maksud aku… sori, Jan. Aku nggak bermaksud….”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt;"><span style="font-family:Arial;">“Ya, kalaupun kau bermaksud mengingatkanku akan persaingan kita yang entah kapan akan berakhir, kali ini aku terima dengan besar hati. Karena kenyataannya memang begitu. Aku tidak bisa memungkirinya, aku kalah…”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt;"><span style="font-family:Arial;">“Tapi Tuhan Maha Adil, Jan,” tiba-tiba saja aku memutuskan untuk berterus terang pula kepadanya. “Yang kalah bukan cuma kamu. Kita sama-sama jadi pecundang. Tak ada yang menang. Aku… aku juga berbohong padamu….”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt;"><span style="font-family:Arial;">“Maksud kamu?”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt;"><span style="font-family:Arial;">“Aku belum punya anak. Dan mungkin takkan pernah punya anak,” aku menelan ludah pahit.”Kami sudah berusaha periksa dan berobat ke mana-mana, tapi hasilnya nihil. Tujuh tahun, Jan, bayangkan… tujuh tahun kami pontang-panting dan kami tetap harus menelan kenyataan pahit bahwa memiliki keturunan hanyalah impian belaka. Aku yang mandul,” ucapku berusaha tegar.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt;"><span style="font-family:Arial;">“Benarkah?”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt;"><span style="font-family:Arial;">“Ya.”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt;"><span style="font-family:Arial;">“Kalau begitu aku merasa ikut prihatin. Kasihan kamu…”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt;"><span style="font-family:Arial;">“Ya, nasib kita sama, Jan. Cuma beda kasus.”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt;"><span style="font-family:Arial;">Sesaat kemudian tak terdengar lagi suara Janna. Dia seperti tenggelam dalam perenungan yang dalam. Merenungi nasib? Menyesalinya? Atau barangkali tenggelam dalam keharuan karena tak menyangka kami memiliki ‘penderitaan’ yang sama? Atau justru sedang menyelami bagaimana rasanya menjadi aku? Bagaimana rasanya menderita dalam kehampaan harapan untuk memiliki sang buah hati sementara berjuta makhluk lain demikian mudahnya membuang-buang persemaian hingga membuahkan banyak hasil yang kemudian kebanyakan ditelantarkan?<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt;"><span style="font-family:Arial;">Entahlah. Tak ada yang mampu meraba apa yang sedang dipikirkan Janna. Namun kelak, beberapa menit sesudah pembicaraan telepon kami terputus, barulah aku tahu arti dari kebungkaman dan nada suaranya yang sontak berubah tanpa kuduga itu.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt;"><i style=""><span style="font-family:Arial;">Maaf, Esther. <st1:city st="on"><st1:place st="on">Ada</st1:place></st1:city> perubahan skor. 1-0 untukku. Cerita kanker itu fiksi. Hanya untuk memancing. Ternyata aku masih lebih baik darimu</span></i><span style="font-family:Arial;">.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt;"><span style="font-family:Arial;">Aku benar-benar terkapar membaca sms-nya. Tak menyangka kalau Janna bisa sejahat itu. Kupikir segalanya telah berubah. Kami bukan lagi gadis abege yang senang licik-licikan, senang persaingan-persaingan, senang saling menjatuhkan satu sama lain. Kami sudah terlalu berumur untuk itu. Yang kami inginkan sekarang adalah perdamaian. Tapi ternyata aku keliru. Persaingan diam-diam dan perang dingin di antara kami seolah-olah sudah menjadi takdir yang tak mungkin terhapus. Terus mendidih selamanya.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt;"><span style="font-family:Arial;">Karena itu, aku pun tak mau kalah. Kubalas sms-nya dengan penuh dendam. <i style="">Kau pikir aku begitu bodoh mau berjujur-jujur padamu? Datang saja ke rumahku. Dan lihat betapa bahagianya keluargaku yang lengkap. Bahkan aku lebih kaya dan tak norak sepertimu. Skor 2-1!</i><o:p></o:p></span><span style=";font-family:Arial;font-size:100%;" ><br /></span></p><p class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt;"><span style=";font-family:Arial;font-size:100%;" >Aku puas setelahnya, dan lalu segera menghapus nomornya. <i style="">No more</i> Janna!</span></p>Sukma Wiehttp://www.blogger.com/profile/06477265542544056885noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7649079019217492997.post-29071973581554920922007-10-30T22:30:00.000-07:002007-11-07T07:08:13.120-08:00My Cute Enemy, NOOR, March 2006 published with title "Tessa"<div style="text-align: left;"><a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEid7Z93qWJjD5omRzgBt5OxCVYw9J1aWzUFiMkbzMdSmSXntpP8gaffW4CL3gaMuNJ5QwI6G_UGEUqta83lTfgXe2XMbB82rjeq4wiide-MSa4tIojFQuc3ARrfqq_ChztPI3qNfjUBaadL/s1600-h/200150175-001.jpg"><img style="margin: 0pt 10px 10px 0pt; float: left; cursor: pointer;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEid7Z93qWJjD5omRzgBt5OxCVYw9J1aWzUFiMkbzMdSmSXntpP8gaffW4CL3gaMuNJ5QwI6G_UGEUqta83lTfgXe2XMbB82rjeq4wiide-MSa4tIojFQuc3ARrfqq_ChztPI3qNfjUBaadL/s200/200150175-001.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5127374168298762994" border="0" /></a><span style="font-weight: bold;font-family:Arial;font-size:22;" ><span style="font-size:180%;"><span style="font-style: italic; color: rgb(51, 204, 0);">My Cute Enemy</span></span></span><b style=""><span style=";font-family:Arial;font-size:22;" ><o:p></o:p></span></b><b style=""><span style="font-family:Arial;"><br /><span style="color: rgb(0, 102, 0);font-family:georgia;font-size:100%;" >Cerpen: </span><i style=""><span style="color: rgb(0, 102, 0);font-family:georgia;font-size:100%;" >Sukma Wie</span><br /><br /><br /></i></span></b><b style=""><span style=";font-family:Arial;font-size:22;" ><o:p></o:p></span></b></div> <p class="MsoNormal"><span style="font-family:Arial;"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-right: 2.3pt; text-indent: 36pt;"><span style="font-family:Arial;">Aku benci sekali setiap kali Tessa datang. Anak itu selalu mencuri perhatian seisi rumah. Bahkan Mas Rige, suamiku, ikut-ikutan mencurahkan perhatian yang berlebihan, hingga aku merasa seperti mulai diabaikan.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-right: 2.3pt; text-indent: 36pt;"><span style="font-family:Arial;">Kupikir memang itulah pangkalnya. Aku iri. Aku cemburu pada anak yang berpipi gembul dan selalu berkuncir itu. Apalagi sejak keseringdatangannya, wajah Mas Rige selalu bersinar dan bersiul-siul seperti anak abege sedang jatuh cinta. Atau barangkali Mas Rige memang sudah jatuh cinta pada anak itu?<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-right: 2.3pt; text-indent: 36pt;"><span style="font-family:Arial;">“Ayo, Tessa! Main kuda-kudaan sama Oom…” teriak Mas Rige begitu melihat sosok berkuncir itu nongol di mulut pintu diantar pengasuhnya.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-right: 2.3pt; text-indent: 36pt;"><span style="font-family:Arial;">Aku langsung menyambutnya dengan lirikan kurang senang. Huh. Mulai lagi deh. Gayanya yang sok imut itu benar-benar menyebalkan. Tapi semua yang melihatnya seperti tersihir untuk mendekatinya. Bahkan Bi Rah, pembantuku dan Arni adikku yang hari itu kebetulan bebas kuliah, ikut-ikutan menyongsongnya dengan gembira. Cuma aku yang pura-pura serius menonton sebuah acara infotainment di layar tv.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-right: 2.3pt; text-indent: 36pt;"><span style="font-family:Arial;">“Aduuuh… berisik amat sih! Nggak denger nih apa yang diomongin presenter, aduuuh… bisa diam dikit nggak sih?” kataku menggerutu karena merasa terganggu suara tawa senang anak itu yang diselingi godaan-godaan Mas Rige yang tak henti-henti.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-right: 2.3pt; text-indent: 36pt;"><span style="font-family:Arial;">“Sekarang Oom jadi macannya… ngaooommm….,” suara Mas Rige lagi sambil mengejar anak itu dengan <st1:place st="on"><st1:city st="on">gaya</st1:city></st1:place> bersimpuh-simpuh seperti macan beneran.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-right: 2.3pt; text-indent: 36pt;"><span style="font-family:Arial;">Anak itu berlari-lari kegirangan sambil berteriak, “Tatuuut….!!!” (maksudnya ‘takut’ barangkali). Huh, sok imut!<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-right: -36pt; text-indent: 36pt;"><span style="font-family:Arial;">Aku makin gemas. “Aduh, Mas! Bisa diam gak siiih!”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-right: -36pt; text-indent: 36pt;"><span style="font-family:Arial;">“Apaan kok teriak-teriak kayak nenek sihir aja!” sahut Mas Rige tak kalah ‘terganggu’.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-right: -36pt; text-indent: 36pt;"><span style="font-family:Arial;">“Nggak liat apa aku lagi asyik nonton? Eh malah bikin gaduh!”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-right: -36pt; text-indent: 36pt;"><span style="font-family:Arial;">“Bawa aja tivinya ke dalam kenapa sih?”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-right: 2.3pt; text-indent: 36pt;"><span style="font-family:Arial;">“Mas!” aku mulai naik pitam melihat tingkah Mas Rige yang seenaknya. Biasanya dia tidak begitu. Pasti gara-gara si setan kecil satu itu. Dia telah mengubah Mas Rigeku...<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-right: -36pt; text-indent: 36pt;"><span style="font-family:Arial;">“Sori, tapi lagi tanggung nih! Ayo Tecaaa… sekarang Oom jadi…”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-right: 2.3pt; text-indent: 36pt;"><span style="font-family:Arial;">Aku segera mematikan tivi dan menghentakkan kaki beranjak dari tempat itu. Arni dan Bi Rah yang melihat gelagat kurang sedap buru-buru ke belakang. Aku langsung masuk ke kamar dan membanting pintu keras-keras. Biar Mas Rige tahu kalau kali ini aku benar-benar sudah merasa sebal sampai ke ubun-ubun!<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-right: -36pt; text-indent: 36pt;"><span style="font-family:Arial;"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-right: -36pt; text-align: center; text-indent: 36pt;" align="center"><span style="font-family:Arial;">***<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-right: 2.3pt; text-indent: 36pt;"><span style="font-family:Arial;">Aku lupa kapan pastinya anak itu pertama kali nongol di depan pintu. Tiba-tiba saja ia sudah menjadi ‘bagian’ dari rumah ini. Awal-awalnya ia masih bersama ibunya, Mbak Deyna yang kukenal memang tinggal di sebelah rumah bersama suaminya yang direktur sebuah perusahaan <i style="">advertising</i> kecil. Mbak Deyna juga kerja kantoran, tapi di tempat berbeda. Aku tidak begitu tahu persis di mana (kadang aku merasa iri padanya yang setiap pagi berangkat ke kantor sementara aku cuma jadi penunggu rumah sejak aku memutuskan untuk berhenti kerja dari perusahaan konfeksi karena capek!).<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-right: 2.3pt; text-indent: 36pt;"><span style="font-family:Arial;">Lalu hari-hari selanjutnya anak itu cuma ditemani <i style="">baby sitter</i>. Dan datangnya selalu teratur. Menunggu saat-saat kapan Mas Rige pulang kantor. Mungkin pengasuhnya merasa tidak enak juga melihat muka masamku kalau tanpa Mas Rige. Tapi kalau saat <i style="">weekend</i>, bisa hampir seharian di rumah. Hanya menghilang ketika ibunya menjemput untuk mandi atau makan siang. Kadang Mas Rige membawanya jalan-jalan keluar dan pulang dengan segepok mainan dan cemilan. Heran, orangtuanya ngapain aja sih? Apa segitu sibuknya sampai membiarkan putrinya bersama orang lain? Ketika hal itu kubahas dengan Mas Rige, jawabannya simpel saja, “Tessa maunya main sama aku sih. Mungkin karena ada ikatan batin di antara kami ‘kali ya?” ucapnya dengan wajah sumringah.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-right: 2.3pt; text-indent: 36pt;"><span style="font-family:Arial;">Dan aku benci sekali melihat wajah Mas Rige seperti itu. Ia seolah-olah melupakan segalanya, termasuk istrinya di sampingnya. Seolah-olah, Tessa jauh lebih berharga dari apapun di dunia ini!<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-right: 2.3pt; text-indent: 36pt;"><span style="font-family:Arial;">Huh. Aku mengeluh. Kalau begini terus aku bisa gila. Aku tahu apa yang sedang dirasakan Mas Rige. Aku tahu apa yang diobsesikan Mas Rige. Aku tahu kenapa Mas Rige begitu tergila-gila pada anak itu!<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt;"><span style="font-family:Arial;">Sudah <st1:place st="on"><st1:city st="on">lima</st1:city></st1:place> tahun perkawinan kami, tapi sedikit pun belum ada tanda-tanda akan dikaruniai seorang buah hati. Padahal kami sudah berusaha ke sana-kemari. Hasil pemeriksaan juga menunjukkan tak ada yang ganjil dengan kondisi kami. Sama-sama sehat dan normal. Dokter pun menganjurkan agar kami (terutama aku) lebih banyak istrahat, banyak rileks, banyak minum ini, banyak makan itu… tapi buktinya sampai sekarang pun belum berhasil. Padahal aku sudah berhenti kerja dan kebanyakan rileks. Kami juga sudah mencoba pengobatan alternatif. Tapi cuma buang-buang duit saja. Hasilnya tetap nihil!<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt;"><span style="font-family:Arial;">Karena itu aku tahu kenapa Mas Rige selalu tak mau melewatkan sedetik pun kalau bersama anak itu. Mungkin di kepalanya yang tertanam bahwa Tessa itu adalah anaknya sendiri. Kerinduan dan keinginannya yang kuat untuk sesegera mungkin memiliki buah hati membuatnya gelap mata. Aku malah curiga kalau Mas Rige sudah menyogok Mbak Deyna dan suaminya agar dibiarkan putrinya bersamanya terus!<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-right: 2.3pt; text-indent: 36pt;"><span style="font-family:Arial;">Yang lebih menyakitkan, sejak anak itu sering kemari, hubungan kami pun sudah tak semesra dulu. Bahkan hubungan kami di kamar pun sudah tak sehangat dulu. Semua didominasi oleh Tessa, Tessa, dan Tessa. Kalau kebetulan kami keluar untuk belanja bersama ke mall, yang banyak dikunjungi Mas Rige adalah toko mainan dan perlengkapan balita. Huh. Padahal dulu, sebelum ada Tessa, seringnya malah ke toko asesoris otomotif. Mas Rige memang gandrung sama yang berbau otomotif, dan suka utak-atik Corolla kesayangan kami. Tapi belakangan hobinya itu pun sudah mulai diabaikannya. Semua demi Tessa, Tessa, dan Tessa!<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-right: -6.7pt; text-indent: 36pt;"><span style="font-family:Arial;">Huh. Lama-lama aku berpikir apa tidak sebaiknya aku lenyapkan saja anak itu, biar Mas Rige kembali berkonsentrasi padaku dan proyek pembuatan anak yang sudah lama terbengkalai. Tapi bagaimana caranya? Masa’ aku harus membunuh anak itu?<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-right: 2.3pt; text-indent: 36pt;"><span style="font-family:Arial;">Aku sedang menggenggam pisau dapur ketika anak itu muncul kembali dan seperti biasa disambut gembira oleh Mas Rige. Mereka tampak bercengkerama dengan penuh semangat, dan Mas Rige mulai lagi dengan aksi gendong-ciumnya. Kadang anak itu diangkatnya tinggi-tinggi membuat anak itu terkikik-kikik geli campur gembira. Dan Mas Rige makin semangat mencandainya.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-right: 2.3pt; text-indent: 36pt;"><span style="font-family:Arial;">Diam-diam aku membayangkan bagaimana kalau pisau dapur ini menancap di tubuh mungil itu. Mungkin tidak butuh waktu lama sampai dia terkulai lemas tanpa nyawa dan berlumuran darah. Lalu setelah itu Mas Rige akan kembali menjadi milikku. Lalu setelah itu Mas Rige akan kembali menghangatiku dengan godaan-godaannya yang menggemaskan dan selalu membuatku kangen padanya. Lalu setelah itu ia akan kembali memikirkan lanjutan proyek pembuatan anak seperti yang senantiasa kuharapkan dan tampaknya mulai dilupakannya. Namun sebelum niatku terlaksana, mendadak muncul sesosok tubuh lain dari balik pilar serambi depan. Sosok yang sudah kukenal.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-right: 2.3pt; text-indent: 36pt;"><span style="font-family:Arial;">“Eh… <i style="">Teh</i> Rina, lagi sibuk masak ya sampe bawa-bawa pisau segala….” sapa Mbak Deyna akrab dan langsung masuk ke dalam rumah begitu melihatku berdiri termangu di ruang tengah sambil memperhatikan kegembiraan Mas Rige dan anak itu.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-right: 2.3pt; text-indent: 36pt;"><span style="font-family:Arial;">Lekas-lekas kusembunyikan pisau di tanganku dan berusaha menyambutnya dengan ramah. “Ah, enggak… ini, tadi cuma abis ngiris-ngiris bawang di dapur, tiba-tiba aku dengar suara rame di depan,” kataku berusaha sewajarnya. “Apa kabar, Mbak? Nggak <i style="">weekend</i> keluar?”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-right: 2.3pt; text-indent: 36pt;"><span style="font-family:Arial;">“Gimana mo <i style="">weekend</i>, ini si Tessa susah banget diajak jalan-jalan kalau nggak sama Mas Rige. Malah Bapaknya sampe cemburu segala kok anaknya lebih akrab sama orang lain,” Mbak Deyna tertawa renyah.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-right: 2.3pt; text-indent: 36pt;"><span style="font-family:Arial;">“Aku bukan orang lain kok, Mbak,” seru Mas Rige menyela. “Aku ‘<st1:place st="on"><st1:state st="on">kan</st1:state></st1:place> juga bapaknya Tessa. Bapak ketemu gede, hehehe!”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-right: -36pt; text-indent: 36pt;"><span style="font-family:Arial;">Semua tertawa mendengar gurauan Mas Rige, tapi aku tidak. Aku cuma tersenyum tipis biar tidak terlalu kentara ketidaksenanganku.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-right: 2.3pt; text-indent: 36pt;"><span style="font-family:Arial;">“Ya udah kalau begitu biar Tessa aku tinggal lagi. Tessaaa,” panggil Mbak Deyna kemudian. “Mo ikut Papa ke mall nggak?”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-right: -36pt; text-indent: 36pt;"><span style="font-family:Arial;">“Nggak!” sahut anak itu spontan. “Tecaa maunya ama Oom…”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-right: 2.3pt; text-indent: 36pt;"><span style="font-family:Arial;">Tuh, <st1:place st="on"><st1:state st="on">kan</st1:state></st1:place>! Bener-bener deh tuh anak gak tau diri! Bandel pula! Udah ditawarin ibunya sendiri malah menolak mentah-mentah. Iiiih…. Pengen aku cincang saja tuh anak!<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-right: 2.3pt; text-indent: 36pt;"><span style="font-family:Arial;">“Ya udah, Mama balik dulu. Awas ya Tessa jangan bikin berantakan rumah Oom!” lalu Mbak Deyna pamit padaku dan melangkah kembali ke luar. Aku mengantarnya sampai pintu depan.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-right: -36pt; text-indent: 36pt;"><span style="font-family:Arial;"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-right: -36pt; text-align: center; text-indent: 36pt;" align="center"><span style="font-family:Arial;">***<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-right: 2.3pt; text-indent: 36pt;"><span style="font-family:Arial;">Tapi sudah tiga hari ini Tessa tidak muncul. Wajah Mas Rige pun tampak murung. Pulang kantor ia seperti kehilangan semangat. Langsung ke tempat tidur tanpa mengganti pakaian kerja. Baru bangun kalau mau sembahyang. Makannya pun sekadarnya saja. Lebih banyak melamun daripada mengunyah. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-right: -36pt; text-indent: 36pt;"><span style="font-family:Arial;">“<st1:place st="on"><st1:city st="on">Ada</st1:city></st1:place> apa sih? Kok lemes begitu? Nggak biasa-biasanya deh,” tanyaku akhirnya, tak tahan.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-right: -36pt; text-indent: 36pt;"><span style="font-family:Arial;">“Apa kamu nggak ngerasa? Kamu sih, seneng aja anak itu nggak nongol-nongol lagi. Bahkan kalau anak itu mati kamu pasti akan berpesta pora!”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-right: 2.3pt; text-indent: 36pt;"><span style="font-family:Arial;">Astaga! Jadi Mas Rige tahu bulat-bulat semua apa yang kupikirkan selama ini? Ah, Mas Rigeku tersayang memang seorang yang perasa.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-right: -36pt; text-indent: 36pt;"><span style="font-family:Arial;">“Memangnya anak itu kemana?” tanyaku penasaran, tak peduli dengan omelannya.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-right: 2.3pt; text-indent: 36pt;"><span style="font-family:Arial;">“Sudah tiga hari ini ia koma di rumah sakit, dan mungkin takkan balik lagi ke sini.”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-right: -36pt; text-indent: 36pt;"><span style="font-family:Arial;">“Lho, memangnya dia sakit apa?”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-right: -36pt; text-indent: 36pt;"><span style="font-family:Arial;">“Kanker darah.”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-right: -36pt; text-indent: 36pt;"><span style="font-family:Arial;">“Masya Allah…!” aku celangap tak percaya.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-right: 2.3pt; text-indent: 36pt;"><span style="font-family:Arial;">“Dokter sudah menerka hidupnya takkan lama lagi sejak bulan-bulan kemarin. Itulah kenapa orangtuanya mengikuti saja semua keinginan anak itu, termasuk membiarkannya bermain di sini setiap hari. Mereka akan melakukan apa saja dan mengikhlaskan apa saja untuk membahagiakan anak itu di sisa hidupnya yang tinggal seujung kuku.”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-right: 2.3pt; text-indent: 36pt;"><span style="font-family:Arial;">Terbayang sosok anak itu yang selalu riang gembira saat bermain dengan Mas Rige. Terngiang suaranya yang cerewet dan tawanya yang riuh. Dan terbayang pula bagaimana sosok itu terbaring kaku dan hening dengan selang-selang infus yang menjulur di sekujur tubuhnya. Astagfirullah… tiba-tiba aku merasa sangat bersalah dan menyesal sekali. Apa yang telah kulakukan selama ini? Rupanya mata hatiku telah diselubungi rasa benci yang membabi buta, hingga membuatku sampai-sampai ingin membunuh makhluk kecil yang sebetulnya menggemaskan itu. Rasa benci yang muncul karena kecemburuanku padanya yang telah merebut hati Mas Rige-ku begitu rupa hingga membuat Mas Rige tergila-gila padanya dan sedikit mengabaikanku. Atau karena kesakithatianku karena belum dianugerahi buah hati yang telah lama diidam-idamkan Mas Rige dari rahimku? Ahh… Alangkah buruknya aku. Alangkah rendahnya… <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-right: 2.3pt; text-indent: 36pt;"><span style="font-family:Arial;">Maka aku tak berpikir panjang lagi begitu kulihat Mas Rige ke kamar mengambil jaket lalu keluar untuk menghidupkan mesin mobil. “Mas, aku ikut,” ucapku seraya bergegas membuka pintu mobil dan mengambil tempat di sisinya. Tanpa kusadari rupanya setitik embun telah membulir di sudut mataku.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-right: 2.3pt; text-indent: 36pt;"><span style="font-family:Arial;">Mas Rige tak berkata apa-apa ketika melirikku. Ia cuma segera menghidupkan mesin lalu meluncur dalam diam.</span><b style=""><i style=""><span style=";font-family:Arial;font-size:12;" ><br /></span></i></b></p>Sukma Wiehttp://www.blogger.com/profile/06477265542544056885noreply@blogger.com0