Rabu, Oktober 31, 2007

Kotak Hitam, FEMINA, 2007

Kotak Hitam
Cerpen:
Sukma Wie


Riza.

Kau terlihat dalam bentuk paling sempurna. Mengenakan gaun coklat muda. Rambutmu kau urai lepas. Bibirmu bersapu lipstick warna natural. Berbicara dengan suara lembut.

Aku memperhatikan matamu. Jelaga yang mengisyaratkan cerita. Mengundang rasa keingintahuan. Indah parasmu hanya selimut tipis yang tidak mampu menyembunyikan kabut kelam di balik retinamu.

Kalau aku berada di dekatmu, dan cuma berdua denganmu –tidak di ruangan kelas yang ramai begini, aku akan bertanya padamu, “Maukah kau berbagi denganku?”

Matamu akan berkaca-kaca dan menjawab, “Aku ingin berbagi denganmu, tapi rasanya terlalu berat…”

“Aku akan membantumu.”

“Membantuku?”

“Ya, aku ingin meringankan bebanmu.”

“Tidak, ini terlalu berat.”

“Tak ada yang terlalu berat kalau bersamaku.”

Dan kau menatapku ragu. Aku tersenyum meyakinkan. Kau menghela napas berat. Lalu satu-satu kau urai jelaga di matamu dengan buliran cerita di bibirmu…

Tapi kau tidak sedang cerita.

Kau di sana sedang menguraikan aturan-aturan perkuliahan pascasarjana kepada kami, mahasiswa baru. Dan aku di sini hanya duduk memperhatikanmu. Tanpa sedikit pun kau memperhatikanku.

****

Ocha.

Tak seorang pun tahu kalau aku selalu memperhatikanmu. Aku tahu kau memperhatikanku. Tapi aku pura-pura tak tahu. Kau memperhatikanku dengan matamu yang tipis namun tajam. Aku tidak bisa membaca seluruh pikiranmu, tapi aku bisa meraba tanda tanya di matamu. Hmm, kau ingin tahu tentang aku? Apa yang ingin kau tahu?

Aku hanyalah sebuah pesawat rapuh yang jatuh di hutan rimba tak terlacak, dengan kotak hitam tersembunyi yang tak seorang pun mampu menemukannya. Tidak, takkan kubiarkan seorang pun menemukannya. Walau kutahu matamu menyiratkan tekad yang mengerikan.

Aku memperhatikanmu masih memperhatikanku. Hari itu kau mengenakan kemeja bergaya tim balap berwarna merah dengan logo-logo oil company dan otomotif yang menempel di dada dan lenganmu. Cukup keren kelihatannya. Seperti pembalap betulan. Apalagi dengan postur tubuhmu yang besar dan gelap. Kau begitu memesona.

Kalau aku cukup dekat denganmu, mungkin aku akan bermanja padamu. Bergayut di lengan kekarmu. Menempelkan pipi di bahumu. Alangkah nyamannya. Kau usap lembut rambutku dengan punggung jarimu sambil berkata, “Tidakkah kau ingin menceritakan kisahmu?”

“Kau ingin mendengarnya?”

Kau tersenyum mengangguk.

Aku menghela napas. “Ini terlalu berat untuk kukisahkan.”

“Kalau bisa meringankanmu, ceritalah.”

“Mungkin tidak kali ini.”

Kau menatap mataku, tepat di pusat hatiku. “Apakah kau tidak mempercayaiku?”

“Aku percaya padamu. Tapi ini tidak mudah bagiku.”

“Baiklah. Aku akan menunggu.”

Dan tahukah kau, berapa lama kau menunggu? Selamanya. Karena kotak hitam itu tetap tersimpan utuh di tempatnya. Tak tersentuh.

****

Bandung, tujuh tahun lampau.

Dia berdiri di ujung jalan itu dengan perasaan gundah. Apa lagi yang telah dilakukannya? Kenapa semua orang yang dekat dengannya selalu berakhir dengan kematian?

“Kau membunuhnya!”

Suara itu masih mengiang. Tidak di dalam ruang kosong, tapi di dalam benaknya. Namun karena tunggal dan lengang, maka suara itu seperti gema yang berekor panjang.

“Tidak, aku tidak membunuhnya,” bantahnya sendiri, membela diri. “Aku tidak melakukan apa-apa, dia tiba-tiba terserempet truk dan terjungkal.”

“Tapi kau ada di situ.”

Ocha menangis. Dia ada di situ. Dicki ada di situ juga. Terbujur kaku bersimbah darah. Beberapa menit lalu mereka masih berboncengan dengan tawa sumringah. Sekarang?

Jangankan sekarang. Sepuluh bulan lalu dia pun telah ‘membunuh’ Akmal. Karena cowok itu baru mengungkapkan perasaan cintanya dan mereka lalu menjalani hari-hari indah, maka cowok itu harus ‘berakhir’ cepat. Kawanan begundal mencegatnya, merampoknya, dan menghunuskan pisau di lambungnya sepulang mengantarkan ia belajar kelompok.

Dan Akmal bukan yang pertama. Gading pernah mengisi hari-harinya sebelum ‘melanjutkan perjalanan’ ke alam baka ketika pesawat yang ditumpanginya tersuruk ke dasar lautan.

“Kau adalah kutukan!”

Ocha menggigil di sudut kamarnya berhari-hari. Menepis segala bayangan buruk yang terus memburunya. Tidak. Aku tidak membunuhnya. Tapi karena kau dekat dengannya, maka dapat dikatakan kau membunuhnya. Mengapa begitu? Mengapa karena aku dekat maka aku dikatakan membunuhnya? Karena kau adalah kutukan! Tidak! Kutukan! Tidak…

Ia merasa sendiri. Semua memang tak ada yang menyalahkannya. Tapi ia selalu menyalahkan dirinya sendiri. Tak seorangpun menudingnya. Tapi suara-suara itu selalu menudingnya. Apakah ia terlahir dengan segala kebetulan yang selalu dekat dengan maut?

Tidak. Ini takkan pernah terjadi lagi. Ocha bertekad untuk mengakhiri semuanya. Karena ia tahu ini tidak rasional, maka ia berusaha untuk melawannya. Terbukti, dua tahun ia bertahan tanpa apa-apa. Meski Taufan telah mengisi hari-harinya lebih dari dua musim. Kini ia bisa bernapas lega. Taufan akan menjadi pelabuhan hatinya yang abadi. Cincin pertunangan emas putih pun tak ragu-ragu ia lingkarkan di jari manisnya.

****

Jakarta, setahun kemudian.

“Apa? Kanker?”

Taufan mengangguk lesu. “Stadium dua.”

“Kau…kau kelihatan sehat.”

“Tapi darahku tak sehat. Setidaknya itulah yang dikatakan dokter.”

Dan Ocha harus menghadapi kenyataan memiliki calon suami yang sekarat. Ia kemudian menjadi akrab dengan rumah sakit. Selang-selang infus, perawat yang hilir mudik, bau obat, dan sebagainya.

“Kau bisa pergi sekarang, Ocha,” ucap Taufan lemah. “Kau tidak harus selalu bersamaku.”

“Tapi aku tunanganmu, Mas.”

“Tunangan ‘kan belum tentu nikah.”

Mata Ocha memanas. “Aku ingin menikah segera.”

“Siapapun dia, aku ikhlas, Ocha.”

“Tidak, aku akan menikah denganmu.”

Dua minggu kemudian, ijab kabul itu pun dilaksanakan. Dan dua hari kemudian, Taufan pergi selamanya dengan penyakitnya.

Ocha menanggung perih yang tak tertahankan. Ternyata suara-suara itu benar. Ia adalah kutukan.

****

Riza – Ocha.

“Halo?”

“Halo, Ocha.”

“Maaf, ini siapa ya?”

“Riza.”

“Riza?”

“Mahasiswa pasca.”

“Oh, ada yang bisa aku bantu?”

“Banyak.”

“Ma…maksudnya?”

“Hanya kau yang bisa membantuku.”

“A…apa yang bisa aku bantu?”

Tak ada jawaban. Hening. Lalu…

“Aku ingin dekat denganmu.”

“Ma…maksudnya?”

“Aku ingin mengenalmu lebih dekat.”

Sebagai sekretaris direktur program pasca, ia terbiasa dengan permohonan bantuan administratif mahasiswa. Tapi belum pernah ia menemukan yang seaneh ini.

“Aku nggak ngerti maksud…”

“Kau mungkin tak pernah memperhatikanku, tapi aku selalu memperhatikanmu.”

“Di.. di mana?” Ocha mulai merasa takut.

“Di kelas.”

“Kapan?”

“Setiap kali kau datang.”

Ocha mencoba mengingat. Ia hanya pernah terkesan dengan seseorang yang memperhatikannya dengan mata penuh tanda tanya.

“Apakah kau…”

“Ya, aku Riza.”

“Yang mana ya?”

“Aku suka warna merah.”

Dan Ocha seperti beku di tempatnya. Kau!

Apakah kau datang untuk membuka kotak hitam itu? Apakah kau ingin mengetahui sisi kelam dalam diriku? Yang untuk mengingatnya pun terasa berat? Siapakah kau sebetulnya? Mengapa kau begitu tertarik untuk mengetahuiku lebih dalam?

Telepon hening.

Dan kau sudah mengingatku, Ocha? Bagus. Berarti kau mulai mengerti apa yang kuinginkan. Aku hanya ingin mengetahui kisahmu. Aku hanya ingin menyibak kabut yang kulihat selalu menggantung di retina matamu. Aku hanya ingin menyeka jelaga yang menyelimuti relung kisahmu.

Hening.

Apakah kau sungguh-sungguh? Apakah kau siap menanggung risikonya? Apakah kau siap berakhir seperti yang lain? Aku tidak siap. Membayangkan apa yang akan terjadi saja sudah membuatku takut. Kukira cukup. Hidupku sudah berakhir dengan kepergian Taufan.

“Ocha…” suara tebal laki-laki itu membangunkan Ocha.

“Riza, atau siapapun kau, kau tidak tahu apa yang sedang kau lakukan.”

“Kenapa? Apakah aku salah? Aku cuma ingin…”

“Aku punya kotak hitam yang tak pernah kubiarkan seorangpun mampu menemukannya.”

“Setiap orang punya kotak hitam, Ocha. Dan kita tidak harus menemukannya. Biarkan dia tersimpan aman di tempat yang tak terlacak.”

“Tapi selama kotak hitam itu ada bersamaku, tak seorang pun boleh berdekatan denganku.”

“Kenapa? Kau takut aku curi kotak hitam itu?”

“Tidak, justru aku takut kau akan menjadi bagian dari kotak hitam itu.”

“Kalau begitu, biarkan aku menemukan kotak hitam itu. Akan aku hancurkan!”

“Kau begitu optimis. Kau tidak tahu seberapa berbahaya apa yang kaulakukan.”

“Aku selalu optimis, karena aku selalu siap menanggung risiko perbuatanku.”

See, kau begitu gagah. Kaulah laki-laki sempurna yang pernah kutemui. Hatimu segagah posturmu. Sanggupkah aku kehilanganmu? Atau kehadiranmu justru awal dari segala ketakraguan? Sesungguhnya aku lelah dalam ketakutan. Aku butuh sayap optimis dan keberanian. Yang dengannya aku bisa melibas suara-suara itu. Yang dengannya aku bisa berjuang melawan segala kebenaran yang menyakitkan.

“Kalau begitu… kapan kau ingin menemuiku?”

“Sekarang.”

“Sekarang?”

“Ya, sekarang. Aku di depan rumahmu sekarang.”

Seperti tersengat, Ocha segera bangkit dari tempatnya, dan berlari ke dekat jendela.

Laki-laki itu benar. Dia sudah menunggu di depan. Dengan segunung optimisme. ****

Tidak ada komentar: